Kapan waktu yang tepat untuk kumpul bersama sekaligus menyambung kembali komunikasi yang terputus-putus? Bila tambah setahun lagi, hidupku tak ubahnya Bang Toyib . Sudah dua kali puasa dan dua kali lebaran aku belum berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman. Apa tidak rindu? Oh… jangan ditanya sebesar apa rindu ini menggunung. Terlebih rinduku pada Sate Blora dan Warung bakso pinggir sawah di Blitar yang selalu aku kunjungi tiap pulang. Hmm... ternyata pikirannya memang tak jauh dari makanan ya? 😏 Bercanda… Salah satu dari semua yang kurindu dan amat sangat rela untuk mengulanginya lagi adalah momen bisa kumpul bareng dan ngobrol dengan saudara yang jarang ditemui. Bahkan sekadar nongkrong dan berburu jajan bareng di alun-alun kota pun gak masalah. Asal jangan diajak adu nasib dulu sih, aku sedang tidak imun untuk yang satu itu. Agenda paling umum kalo kumpul Dan rindu ini seperti biasa membuatku termenung. Bila pada para sepupu dan saudara jauh saja aku bisa begitu rindu, a pa k
Kembali lagi pada waktu yang sengaja aku khususkan untuk merenung. Apa yang hendak direnungkan? Banyak. Yeuuu… kalau begitu jawabannya mah gak usah ditulis 😏. Bukankah orang bakal merenung pada waktunya? Atau ketika udah terlalu banyak kejadian di sekitarnya? Apalagi kalo masuk dalam golongan kaum overthinking . Hal kecil aja bisa dijadikan bahan pikiran. Ruwet sendiri, capek sendiri. Cari penyakit emang, sekarepmu wes … Oleh karena itu, aku mulai menerapkan batasan kapan saja waktunya berlebihan dalam berpikir, salah satunya, ya… hari ini. Walaupun cuaca di luar tidak ada sendu-sendunya. Tidak mendukung sama sekali untuk menikmati lamunan seorang diri. Anak yang lagi ngaca ini diambil dari sini Setelah aku jauh berjalan, dan kau kutinggalkan rupanya ini sekaligus pengingat bahwa waktu yang kulewati lumayan banyak. Dan dalam titik ini, jujur saja ada rindu yang menggenang. Rindu padamu? Itu halu, sayangku. Sebab kamu masih menjadi suatu keabsurdan yang menemani khayal-khayal yang