Langsung ke konten utama

Hai, Nak...


Masih ingat trend menyapa buah hati di masa depan?

Itu lho, kayak…
‘Hai, Nak,
Ini mama waktu masih belum ketemu papamu.’


Sejujurnya aku tidak pernah terpikir untuk ikut mengabadikannya. Alasannya? Karena perasaan geli-geli menggetarkan hati yang terlalu dominan untuk melihatnya kembali daripada nostalgia mengingat banyaknya waktu yang terlewat sejak jejak itu tertinggal. Setidaknya, sampai ada hal mendasar mengapa tulisan ini hadir.

Ketika catatan ini dituliskan, aku masih mengamati silang pendapat perkara kehadiran anak dalam kehidupan seorang perempuan. Terbaru, aku menemukan sebuah cuitan yang mengatakan kehamilan itu hanya merusak tubuh perempuan dan menjuluki bayi yang ada dalam kandungan sebagai parasit. Mind blowing 🤯.

Memang, sejauh ini aku hanya menjadi penyimak; Tidak ikut berdebat, tidak juga menghujat. Lagipula, hal ini belum menjadi sesuatu yang mendesak bagiku. Meskipun kalau boleh jujur, ada banyak hal yang gak konsisten di logikaku bagi mereka yang mencoba berpikir out of the box. Juga kengerian tersendiri bila seseorang memilih sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya dalam jangka panjang.

Punya anak atau tidak tergantung yang menciptakan. Siapa yang menciptakan? 
Orang tua? 

Bukan, mereka hanya perantara kehadirannya. Sepertinya tidak perlu kujabarkan bagaimana detail perbuatan orang tua yang bisa memunculkan kehadiran anak. Logikanya, bila karena orang tua seorang anak tercipta, bukankah setiap kali mereka berhubungan maka perempuan akan mengalami kehamilan? Namun, terkadang satu kali berhubungan pun belum tentu jadi.

Emak sayang anak ini diambil dari sini

Kelak bila sampai pada waktunya menjadi orang tua, aku pun hanyalah seorang perantaranya ada. Dan ibu adalah peran yang aku jalani nantinya. Tak mungkin sebagai seorang ayah, meski dulu kelakuan jauh dari kata ‘gadis manis dan lembut’. 

Lembut apanya? Bhakss…

Jadi, sebagai pelaku kehidupan, aku hanya menjalani peran sembari mempersiapkan diri menghadapi apapun yang digariskan terjadi dalam hidupku sebaik mungkin. Biar gak kaget, maunya gitu sih. Persoalannya, bila nanti aku memiliki anak, apa yang akan aku ajarkan pada mereka sebagai ibunya?

Tentu, setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Minimal sekali, tidak mengikuti jejak kekurangannya. Lucunya, pikiran semacam itu sudah ada sejak usiaku masih bocah, ketika bermain peran menjadi orang tua. Padahal main mah, main aja. Just have fun with it.

Meski nalar saat itu belum sampai, aku cukup sadar ketika dituntut menjadi contoh yang baik untuk adik-adikku. Sebab anak kecil itu polos, si peniru ulung. Mereka mencontoh apapun yang dilakukan orang yang lebih tua darinya. Belum lagi ungkapan yang sering kudengar, Al ummu madrasatul ula, seorang ibu adalah madrasah (sekolah) awal bagi anaknya.

Iya, sebuah tanggungjawab yang gak main-main beratnya. Lebih berat lagi, pemikiran mengajarkan manusia baru tentang ilmu-ilmu kehidupan sudah terbayang di benak seorang bocah yang masih banyak gak taunya. Salah sendiri mikirnya kejauhan 😏. Tetapi karenanya, aku jadi punya tujuan. Setidaknya generasiku kelak tidak menjadi orang yang bodoh dan mewarisi kebodohanku.

Emak ngajarin anak itung bintang

Tetapi semakin umur bertambah, berubah pula cara pandangku tentang mendidik anak. Rasanya menjadikan seorang anak pintar dan berbakat saja tidak cukup. Lagipula, memang dia harus sepintar apa? Bukankah manusia memiliki keterbatasan, juga kemampuan yang berbeda-beda? Kalau aku menetapkan standar versiku tentang sebaik-baiknya manusia pada anak, bukankah akan menjadi beban tersendiri baginya nanti?

Beda jaman, beda pula aturan mainnya. Pandangan terhadap hal yang sebelumnya asing menjadi lazim juga berubah. Seumur hidup, aku menyaksikan dan merasakan perubahan itu dari yang kayak gak ada apa-apa sampai yang paling drastis. Jadi ingat dulu perlu izin biar bisa main game di handphone orang tua (itu pun jarang banget dikasih -_-"). Tapi, sepertinya sekarang udah gak berlaku lagi karena setiap anak sudah punya handphone sendiri.

Bukan tak mungkin hal tersebut memengaruhi perubahan nilai-nilai sosial di masyarakat. Begitu pula standar pantas dan tak pantas dilakukan yang terus bergeser, demi kebaikan bersama. Masalahnya, apakah hal asing yang kemudian menjadi lazim ini memang pantas untuk dipantaskan? Apakah memang benar membawa kebaikan bersama? Standar dunia berubah-ubah, begitu juga apa yang dianggap penting dan tidaknya. Tak akan ada ujungnya.

Aku pikir, ada hal lebih mendasar yang perlu aku kenalkan padanya sedini mungkin selain urusan dunia. Karenanya, tujuannya pun direvisi; Menjadikannya sebaik-baiknya manusia agar selamat dunia akhirat. Mendidiknya bukan hanya untuk perkara dunia, tapi juga perkara akhirat. Mengenalkannya pada yang menciptakannya ada, Tuhannya. Mengajarkannya perkara aqidah dan akhlak. Menerapkan adab pada kehidupan sehari-harinya, juga bagaimana dia bersikap dalam kondisi-kondisi yang dihadapinya.
 
Ilustrasi kehidupan emak dan anak

Kenapa akhirat?
Sebab kematian adalah suatu hal yang pasti. Hidup di dunia hanya akan bertahan selama hayat masih dikandung badan. Lalu apa ada kehidupan setelah kematian? Bagi yang saat ini masih hidup di dunia, kehidupan setelah kematian adalah hal yang tak bisa dinalar logika. Tapi bagi yang sudah mengalaminya, sejauh ini belum ada yang memberi testimoni.

Lagipula sama seperti penciptaan manusia, bila ada yang menghidupkan dan mematikan manusia, maka kehidupan setelah kematian pun sebuah keniscayaan. Dan yang menciptakan pasti lebih mengetahui aturan main di dunia daripada yang diciptakan. Pastinya aturan yang ditetapkannya demi kebaikan ciptaannya. Meskipun dalam logika yang terbatas ini kerap kali timbul tanya ‘kenapa’.

Tapi jika ajaran agama itu benar dan lurus, bukankah pertanyaan kenapa itu akan menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan akal sehingga tunduk mengakui kebenaran dan menambah kepercayaan/keimanan? Kecuali bagi mereka yang terus menolak dan mengingkari.

Jadi menurutku, urusan kehidupan dunia dan akhirat yang diatur dalam ajaran agama berjalan beriringan, bukan dua hal yang bertolak belakang. Sayangnya semakin ke sini, keduanya sengaja dibuat bergesekkan dan diperlebar jurang perbedaannya seolah tak ada hubungannya. Bukan tak mungkin nantinya akan semakin sulit bagi seseorang mempelajari/memperdalam keyakinan yang dianut. Juga agama yang tak lebih hanya mengatur ritual peribadatan dan dongeng bagi mereka yang tak meyakini akhirat.

Mencari jalan pulang, dengan editan

Saat ini saja, mendengar pengalaman seorang teman tentang kesulitannya mendalami agama dan memahami yang diyakininya membuatku miris. Rupanya bukan sekadar kisah random yang aku baca lewat postingan orang. Beberapa kali ketika kami memiliki kesempatan bicara, dia rupanya sambil mempelajari dari sedikit yang aku pahami.

Keyakinan kami sama, hanya saja aku harus lebih banyak bersyukur memiliki kesempatan dan kebebasan untuk mempelajarinya. Darinya aku mengetahui contoh nyata semakin banyak generasi muda yang tak mengenal agamanya. Agama tak lebih dari sekadar label identitas tanpa arti apapun. Ternyata, demikianlah cara mereka yang membenci berusaha memadamkan keyakinan seseorang pada agamanya.

Lalu dengan kemudahan yang Allah beri, bukankah tak tahu berterima kasih bila aku masih menyia-nyiakan nikmatNya? Bila aku tak membekali diriku sendiri dengan ilmu, bagaimana kelak aku membekali mereka? Apakah aku mampu menjadi seorang ibu yang dapat memegang amanah dan mendidiknya menjadi pewaris bumi hingga kelak tiba waktu yang dijanjikan itu? Semoga saja Allah menjaganya dalam golongan orang-orang yang beriman dan beramal saleh di tengah fitnah yang semakin kejam.

Gambar diambil dari cuplikan berikut

Teruntuk seseorang yang terlahir dariku…
Kelak, jika kamu menemukan tulisan ini, ketahuilah bahwa hadirmu adalah anugerah yang sangat disyukuri. Namun menjadi madrasah utamamu adalah tanggungjawabku sebagai ibumu. Doakan saja, semoga ibumu dimampukan untuk mendekatkanmu meraih cintaNya. Sebab, kamu adalah salah satu orang yang ingin kubersamai lagi di surgaNya. Untuk selamanya.


Komentar