Langsung ke konten utama

Catatan Ramadhan: Maaf, Aku Tak Sesuai Ekspektasi


Apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Suatu waktu, aku terpekur dalam hening atas pertanyaan selintas yang hadir. Menyadari sosok penanya yang sama, yang selalu menanyakan pertanyaan itu setiap tahunnya. Menyadari sebuah realita yang sering terjadi, tiada yang lebih perhatian selain diri sendiri. Ah, mengapa pula bertanya jika sudah tahu jawabannya? Bukankah sama-sama mengalaminya juga?

Mungkin ingatan tentang apa yang terjadi dan yang sejauh ini berlalu masih terekam dengan jelas. Tetapi selama masih hidup di dunia, hukum alam akan tetap berlaku. Ingatan yang tak lama digunakan, cenderung memudar seiring waktu. Tiada yang dapat menyangkalnya, begitu pun aku. Lalu, apakah hal yang saat ini kuingat akan tetap teringat hingga beberapa tahun mendatang, misalnya 10 tahun dari sekarang? Tak ada jaminan.

Jadi, terutama untukku yang membaca ini di masa depan,
Ada yang aku ingin kamu tetap mengingatnya hingga nanti; Terutama tentang hikmah Ramadhan di tahun ini yang menyadarkanmu untuk tetap membumi. Semoga kenangan ini juga menjadikanmu semakin baik lagi.


Sejujurnya, tidak banyak yang kuharapkan dalam menyambut Ramadhan selain dengan harapan yang sama; Menjalani ibadah dengan sebaik-baiknya amalan. Sebab, tidak ada yang tahu datangnya ajal. Sedangkan setiap saatnya, kita hanya menunggu gilirannya tiba. Lalu, bagaimana jika Ramadhan yang ditemui saat ini menjadi kesempatan terakhir melaluinya?

Seperti tahun kemarin, tak banyak wacana yang tercatat dalam agenda. Hanya lebih merutinkan diri menjalani ibadah harian yang beberapa bulan terakhir mengendur, dan menjalankan rutinitas yang biasa dijalankan di bulan ini. Kupikir, itu saja sudah cukup. Tak lupa, menyediakan ruang untuk hal di luar dugaan seperti yang terjadi tahun lalu. Kegiatan di luar rencana yang malah jadi rutinitas harian: mengikuti kelas tadabbur surat Al Mulk (meskipun sampai saat ini resumenya masih nunggak dan belum tuntas).

Mungkin saja, kegiatan tak terencana itu terulang lagi sekarang. Dan… memang dugaanku tak meleset. Kejutan itu datang dan menemani setiap fasenya selama sebulan ini.

Dimulai dari awal Ramadhan saja, semarak ibadah di 10 hari pertama ini tak bisa kuikuti sepenuhnya sebab kondisi badan yang kurang kondusif. Kupikir, ini tak akan lebih dari sehari. Tetapi seperti apapun manusia menduga dan berencana, Allah juga yang pada akhirnya menentukan. Rupanya, kondisi yang tidak memungkinkan itu membuatku terpaksa menjeda kewajiban berpuasa dan melewatkan malam-malam tanpa tarawih.

Kata banyak orang, sakit adalah penggugur dosa. Barangkali, inilah salah satu cara Allah menggugurkan segala salah dan kelalaianku sebelumnya. Anggap saja sedang dicuci sebersih-bersihnya, semoga Allah juga mengampuninya.

Rutinitas ibadah kembali berlanjut setelah sembuh meskipun perputaran waktu terasa lebih cepat. Tau-tau saja sudah memasuki babak kedua dalam 10 hari Ramadhan. Tetapi ada satu hal yang terasa kurang dan parahnya baru kusadari menjelang akhir 10 hari kedua ini.

Aku tau, Ramadhan adalah bulannya Quran. Sehingga mendekatkan diri dengan Quran menjadi salah satu keutamaan. Jadi, wajar saja kalau banyak orang yang lebih gencar meluangkan waktu dengan membacanya. Namun, sepertinya inilah ujianku selanjutnya: Memaksimalkan upaya untuk meluangkan waktu dengan Quran. Ibaratnya, kalau sebelumnya dengan berjalan pelan saja aku bisa mendapatkan hal yang diinginkan, kini aku harus mengerahkan segala tenaga. Sekalipun bila harus merangkak.

Perputaran waktu kembali bergulir semakin cepat. Tanpa terasa memasuki 10 malam terakhir, dimana Ramadhan akan berakhir hanya dalam hitungan hari. Semua muslim sepertinya sudah tahu tentang hadirnya malam kemuliaan. Ibadah di malam itu konon lebih baik atau setara dengan ibadah dalam seribu bulan, Lailatul Qadr. Meskipun tak ada satupun yang tahu kapan persisnya terjadi.

Tepat ketika banyak orang berburu malam kemuliaan itu, Allah memberikanku dispensasi dalam beribadah. Alhasil, semakin bertambah pula hitunganku terhadap hari-hari yang kutinggalkan untuk tak berpuasa. Sudahlah, jangan ditanya jumlahnya. Yang jelas, ini menjadi rekor terbanyak sejauh ini untuk membayar hutang.

Dikutip dari email yang dikirim oleh mbak Aida Azlin

Bagi mereka yang beriman, bulan Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk mendulang pahala. Seperti mereka yang jatuh cinta dan tak mau meninggalkan yang dicintainya sedetik pun, begitu pula bagi mereka yang serius menjalani ibadah dalam Ramadhan. Rasanya setiap detiknya spesial dan terlalu sayang untuk dilewatkan. Tapi, bagaimana bila kamu harus melewatkannya bukan karena kehendakmu?

Mungkin beginilah salah satu ujian bagi mereka yang serius meniatkan diri. Ada harga yang harus dibayar dalam memperjuangkannya. Bukankah setiap ucapan perlu dibuktikan untuk menunjukkan kesungguhan? Lagi-lagi persis seperti ksatria yang berkorban demi cintanya. Jika untuk orang yang dicintai kita rela berkorban segalanya tanpa perhitungan, mengapa ragu untukNya yang lebih berhak?

Hal lain yang menjadi hikmah yakni, bisa diberi kesempatan menjalankan ibadah dengan lancar itu juga termasuk nikmat. Jadi ingat tentang mereka yang sampai berkorban banyak hanya untuk bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Bukankah contoh nyatanya tengah terjadi saat ini? Di tanah berkah yang menjadi latar sentral agama Abrahamik?

Bersyukurlah bila Allah memberi kemudahan dalam menjalankan ibadah. Karena ternyata, bila bukan dengan kuasaNya, hal semudah mengambil air wudhu saja terasa sulit, kan? Ini sekaligus mengingatkanku betapa lemahnya manusia dengan segala ketidakberdayaannya. Kalau bukan karena kehendak Allah, manusia bisa apa? Pantas saja ketika akan memulai segala sesuatu hendaknya dimulai dengan menyebut namanya. Bi-ismi-Illah, Bismillah, dengan menyebut nama Allah…

Pelajaran Ramadhan kali ini bukan hanya perihal mengingat keterbatasan diri, tetapi juga seberapa besar kamu mau mengutamakanNya. Entah hikmah lain apa yang masih tersembunyi di baliknya. Syukurnya, meskipun banyak kendala dalam setiap fasenya, ada saja yang bisa disyukuri sejauh ini. Setidaknya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki meskipun harus berkejaran dengan waktu. Bagaimana jadinya bila tak ada kesempatan untuk memperbaiki?

Alhamdulillah ala kulli hal…


Komentar