Langsung ke konten utama

Sepotong Kain Penutup yang Menjulur


Ketika melihat barisan angka di kalender dan penandanya, seketika aku tergelitik untuk menulis. Sejujurnya, aku termasuk golongan orang yang suka bertanya, mengapa hal kecil perlu dirayakan? Contohnya, seperti saat ini, dalam rangka memperingati World Hijab Day.

Bahkan untuk memakai kerudung pun ada hari peringatannya?

Tetapi lambat laun aku menyadari, peringatan itu tak melulu bersifat personal. Mungkin lebih ke peningkatan kesadaran secara kolektif, mengingat ada urgensi di balik persoalan yang diperingati itu.

Seperti peringatan hari ini, persoalan tentang hijab masih jadi bahasan di beberapa kalangan dan situasi. Ada yang berpendapat mengenakannya adalah sesuatu yang wajib, namun tak sedikit pula yang menganggap tidak demikian. Ada yang dilarang menggunakannya, sedang ada juga yang memilih menanggalkannya dengan sukarela. Ada yang prosesnya dimudahkan, ada juga yang mesti kesulitan melaluinya. Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Lah…

Sudah lama tersimpan dalam galeri, lupa darimana gambar ini berasal 😅

Memang suatu perayaan itu memiliki multitafsir atau setidaknya begitulah yang kupikirkan. Sebab setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal. Lalu, bagaimana menurutku?

Ketika diberi waktu untuk berpikir, aku menganggap momentum ini sebagai bentuk solidaritas dan juga pengingat betapa berharganya sepotong kain yang menutupi kepala dan menjulur hingga batasan dada. Walau sebenarnya, setelah dipelajari lagi, makna hijab lebih dari sekadar kain penutup. Apalagi kemudian, hijab dan kerudung memiliki perbedaan makna kata. 

Ya… ini hanyalah saat aku berpikir. Ketika gak mikir, mungkin menganggap hari ini sama saja seperti hari biasanya.

Membaca beberapa cerita dari muslimah di luar sana dengan kerudungnya, somehow menarik untuk disimak. Bagaimana perjalanan mereka dalam berkerudung hingga sampai di titik sekarang, pertentangan dan kemudahan yang mereka lalui, dan…apa makna kerudung bagi mereka. Mengapa mereka berkomitmen dalam mengenakan kerudungnya? Apakah hanya sebatas memenuhi perintah?

Sebagai seorang muslimah, aku pun memiliki lika-liku perjalanan berkerudung. Meski begitu, perempuan yang memakai kerudung dan menutupi setiap jengkal tubuhnya dengan kain terlihat begitu anggun di mataku. Dan kata ‘anggun’ yang lekat dengan perempuan berkerudung panjang, dengan gamis, atau memakai rok itu sepertinya tak cocok berdampingan denganku yang cenderung ‘tomboy’. Sukar mengkombinasikannya bahkan membayangkannya.

Lihat betapa anggunya si mbak meskipun tampak belakang

Krisis identitas itu mulai terasa ketika usiaku menginjak aqil baligh, sekitar masa-masa SMP. Saat itu mulailah aku disuruh mengenakan kerudung setiap kali bepergian. Hanya saja aku masih keberatan juga tidak pede. Wong cantik saja tidak terlalu, apalagi jadi terlihat lebih tua seperti emak-emak. Seboros itukah aku ketika mengenakan kerudung? Bisa-bisa tak ada yang mau.

Memasuki SMA, tepatnya menjelang tahun terakhir sekolah, mulailah perintah itu gencar diarahkan padaku. Dibumbui dengan sindiran-sindiran yang cukup menimbulkan gerah hati. Jadilah, saat itu aku memilih berdamai dengan keadaan. Win-win solution. Hanya setiap kali pergi bersama keluarga aku mengenakan kerudung. Tetapi jika bertemu teman, aku menanggalkannya.

Awalnya nyaman saja dengan kondisi seperti itu. Lambat laun jadi kepikiran juga dan merasa diri munafik. Bagaimana jika mereka yang terbiasa melihatku dengan kerudung, tak lagi menjumpaiku demikian? Tak ada lagi ketenangan dalam situasi seperti itu. Pada akhirnya, aku harus memilih; Memakainya, atau menanggalkannya. Sebelum memutuskan, seperti biasa, aku menanyakannya pada sesama kawan perempuanku yang muslim. Bagaimana jika berada di tempat yang baru? Apakah mereka akan memutuskan berkerudung?

Jajak pendapat yang menuai ragam jawaban mengantarkanku pada keputusan untuk menunda. Mungkin di tahun ketiga perkuliahan barulah aku memantapkan diri mengenakannya. Tapi… sebelum niatan terlaksana, justru hal itu terjadi lebih awal dari perencanaan.

Selang 2 minggu masa perkuliahan, aku memantapkan diri mengenakannya. Kenapa secepat itu? Ya…aku hanya merasa malu. Pada mereka yang teguh memilih mengenakan kerudungnya di tempat yang menjamin kebebasan untuk berpakaian terbuka. Pada mereka yang mau belajar mengenakannya walau masih baru mempelajari ilmunya. 

Akupun menyadari bahwa, standarku dalam berpakaian nyaman dan sopan di depan umum, ternyata cukup payah 😅. Kalau mengikuti trend yang ada, malah ribet sendiri. Weslah... pakai kerudung adalah jalan ninjaku untuk lebih praktis dan tampil lebih layak. 

Perlu proses juga rupanya hingga kombinasi antara rok ataupun gamis bisa berdampingan dengan karakter tomboy yang melekat padaku. Kuncinya, pahami dulu hakikat menutup aurat, dan tumbuhkan rasa malu. Tanpa hal itu, mungkin aku tak akan pernah bisa memadukannya seperti sekarang.

Ceritanya sedang mempelajari sesuatu

Berkaca dari kejadian yang lalu, aku jadi sadar bahwa pemikiranku dulu tentang ketakutan tak terlihat menarik hanyalah sebuah godaan untuk suatu keseriusan. Ah, akhirnya aku menemukan bukti lain yang membenarkan aku seorang perempuan. Memang sudah fitrahnya perempuan ingin terlihat cantik dan menarik. Tanpa harus bertindak lebih hingga menyulitkan diri sendiri demi terlihat menarik, pada dasarnya perempuan diciptakan demikian.

Berhijab itu proses, sepertinya aku setuju dengan pernyataan itu. Perbaikannya tidak hanya secara fisik, tetapi juga hati, dan cara pandang. Tetapi bukan berarti hanya karena tergolong proses, lalu membenarkan anggapan yang memilih untuk menghijabi hati terlebih dulu baru fisik. Apakah ada jaminan bila hati tetap lurus pada niatan untuk ‘menghijabi hati’ dahulu? Bagaimana bila tiba waktunya, niatan itu sama sekali tidak terlaksana?

Perubahannya pun tak bisa instan. Eh, bisa saja sih. Mungkin. Meski seringnya cenderung tak bertahan lama. Sebab tak ada alasan kuat yang menjadi pengingat diri mengapa memutuskan demikian sekalipun ilmunya sudah dipelajari. Sayangnya untuk memahami, tak cukup diujarkan lisan saja. Ah... istiqomah itu memanglah berat, yang mudah hanyalah istirahat.


Jadi, teruntuk muslimah di luar sana, yang bertemu tulisan ini,

Yang masih berada dalam keraguan
Setidaknya setitik keraguan itu memiliki pertanda yang baik. Hatimu mulai menerima dan mempertimbangkan nasihat yang sudah sering kau dengar menuju ke arah yang lebih baik. Hanya perlu sedikit pembiasaan pada diri meski harus tertatih di awal. Bukankah bayi untuk berjalan saja juga perlu proses belajar hingga tegap berdiri dan melangkah?

Yang mengalami kesulitan
Semoga tulisan ini menjadi penghibur dan memperteguh keyakinan untuk bertahan. Insya Allah, ujian yang hadir akan membawa kebaikan.

Semoga Allah menguatkanmu dalam prosesnya.
Semoga Allah mudahkan. 😊   

Gambar penyejuk hati ini diambil dari sini



Komentar