Langsung ke konten utama

Roller Coaster di Bulan Juni


Kapan waktu yang tepat untuk kumpul bersama sekaligus menyambung kembali komunikasi yang terputus-putus?

Bila tambah setahun lagi, hidupku tak ubahnya Bang Toyib. Sudah dua kali puasa dan dua kali lebaran aku belum berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman.

Apa tidak rindu? Oh… jangan ditanya sebesar apa rindu ini menggunung. Terlebih rinduku pada Sate Blora dan Warung bakso pinggir sawah di Blitar yang selalu aku kunjungi tiap pulang. Hmm... ternyata pikirannya memang tak jauh dari makanan ya? 😏

Bercanda…

Salah satu dari semua yang kurindu dan amat sangat rela untuk mengulanginya lagi adalah momen bisa kumpul bareng dan ngobrol dengan saudara yang jarang ditemui. Bahkan sekadar nongkrong dan berburu jajan bareng di alun-alun kota pun gak masalah. Asal jangan diajak adu nasib dulu sih, aku sedang tidak imun untuk yang satu itu.

Agenda paling umum kalo kumpul

Dan rindu ini seperti biasa membuatku termenung. Bila pada para sepupu dan saudara jauh saja aku bisa begitu rindu, apa kabar kedua orang tuaku dengan saudaranya? Terlebih setelah memiliki rumah tangga masing-masing, tentu intensitas bisa bertemu jauh berkurang. Ketemu, Alhamdulillah. Gak ketemu, hanya bisa saling memeluk dalam doa. Tsaahh ✨.

Ya… kapan lagi bisa reuni kalau tidak saat lebaran?

Kalau boleh memilih, semua orang tentu berharap dapat berjumpa pada momen yang membahagiakan. Apalagi dengan personel yang lengkap. Sayangnya terkadang saat momennya ada, belum tentu bisa berkumpul semua. Kalau toh bisa berkumpul semua, belum tentu terjadi di momen yang tepat.

Sejujurnya tiada seorang pun yang merencanakan pertemuan secara lengkap di saat seperti ini. Tetapi, pertemuan kali ini adalah suatu ketetapan takdir, terjadi untuk memberikan penghormatan yang terakhir kalinya.

Awal bulan Juni tahun ini dibuka dengan lembar kehilangan. Meskipun bukan kematian pertama yang aku saksikan, juga bukan pertama kalinya merasa kehilangan tiap kali ditinggal selamanya, momen kemarin banyak membuatku berpikir betapa anomalinya hubungan kekerabatan itu. Apalagi bila hubungan itu antar saudara kandung. Akuilah, pasti tak asing kan dengan situasi, ketika dekat cukup sering ribut, tetapi ketika jauh saling merindu?

Sekalipun terkadang mereka cukup nyebelin, tetapi tetap saja ketika mereka pergi, menyisakan ruang kosong di hati. Perasaan yang kemudian dinamakan kehilangan. Bagaimana bila ditinggal pergi untuk selamanya?

Kurang lebih begitulah yang dialami papaku dengan saudaranya. Yang membuatku terenyuh, meskipun mereka kadang terlihat seperti Tom and Jerry, tetapi jauh di lubuk hati, mereka masih saling peduli. Kalau tidak, bagaimana bisa papaku merasakan isyarat menjelang detik-detik kepergian kakaknya untuk selamanya?

Bukankah orang-orang yang bisa merasakan itu adalah mereka yang memiliki kedekatan emosional satu sama lain? Inipun baru aku pahami setelah beberapa kali mengamati kehilangan, dan isyarat itu semakin jelas ketika sudah benar-benar ditinggal pergi.

Ternyata hubungan antara saudara kandung juga kadang bisa seromantis itu. Bila yang satunya sakit, yang satu bisa ikut merasakan sakitnya.

Setelah dua kali lebaran tak pulang, Papa dengan saudara kandungnya pada akhirnya bisa berkumpul secara lengkap meski bukan pada momen yang diharapkan. Sayangnya, itu juga momen terakhir mereka bisa berkumpul secara utuh, dengan seseorang dalam kondisi telah pergi.

Bulan Juni ternyata tidak hanya menyatukan papa dan saudaranya, tetapi juga dari pihak mama.

Kami sekeluarga ditambah keluarga pakdeku pergi untuk menghadiri acara keponakan pertamanya mama, which is kakak sepupuku. Pada akhirnya, kakakku menemukan tambatan hati dan memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Memulai masa bakti pada suami yang Insya Allah sampai akhir hayatnya tepat sehari sebelum Juni berakhir.

Saudara kandung dari pihak mama memang tidak sebanyak papa. Tetapi dari yang aku amati sejak kecil, hubungan dengan saudara sepupunya tak berbeda dengan saudara kandung; Sangat akrab. Sayangnya, belum beruntung untuk bisa berkumpul secara lengkap. Eh… tapi kan yang penting antar saudara kandung lengkap, yak?

Yup… pernikahan kakak sepupuku sekaligus jadi ajang reuni dengan keluarga yang sudah lama tak ditemui. Kalau gak begitu, kapan lagi bisa kumpul bareng, ya kan?

Seperti yang bisa diduga, untuk mengulang momen kumpul selain lebaran, tentu mereka menanti momen serupa terulang lagi. Dan kesadaranku seperti diketuk ketika menyadari yang mereka maksud momen serupa itu ya nanti…, ketika aku yang naik pelaminan.

Heuuu… jodohnya saja masih belum terlihat hilalnya. Bagaimana pula menanti momen yang sama hadir segera? Mohon doanya sajalah...

***
Sampai bulan ini berakhir aku masih merasa apapun yang terjadi sungguh aneh tapi nyata. Kalau dipikir-pikir, yang dulunya kami sering main bareng pas kumpul, kini sudah dihadapkan dengan beberapa urusan yang mendewasakan diri. Dan ini bukan lagi persoalan yang mudah seperti bermain ular tangga atau kartu remi.

Wih.... waw.... ada yang tau ini main apa? 

Mempersiapkan diri menjadi mandiri sebelum ditinggal orang tua; Memutuskan untuk menjalani babak lain kehidupan dengan menikah dan berkeluarga; Belajar menjadi tuan rumah dalam menyambut tamu dan membawa diri sambil membawa nama baik orang tua sekalipun mereka tiada; Juga menjadi orang tua yang dapat dicontoh anak kelak. Alamak…. Kalau begini lebih enak main aja gak sih? Tapi, emang bisa balik ke masa lalu?

Hingga tanpa sadar, urusan-urusan pendewasaan tersebut tak jarang merentangkan jarak satu sama lain, sekalipun masih terikat darah. Ngerinya, kalau ini dibiarkan berlanjut, bisa-bisa putus hubungan persaudaraan atau kalau orang Jawa bilang, kepaten obor

Aku jadi mikir, bagaimana bila kelak aku pun berumah tangga? Kalau bukan karena momen-momen tersebut yang membuatku kembali terhubung dengan mereka, masihkah aku punya kesempatan untuk bisa kumpul bareng lagi?


Komentar