Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

After All of These...

Tau-tau saja sudah lewat beberapa hari sejak lebaran kemarin. Sekaligus menjadi penjelas Ramadhan sudah berakhir di tahun ini. Tetapi rindu seolah belum cukup reda akan hadirnya. Siapapun yang kutanyai, akan memberi jawaban serupa. Ramadhan kali ini memang berlalu sangat cepat. Ternyata… fenomena cepatnya Ramadan berlalu sudah sejak lama dijelaskan dalam Quran. Duh, kemana saja aku selama ini? Tetapi ini bukan soal perguliran waktu yang berlalu cepat, sebab itu hanyalah kuasa Allah yang mengatur. Ini juga bukan tulisan yang mengandung catatan apa-apa saja yang dilakukan selama Ramadhan. Tulisan ini ditujukan untuk mendokumentasikan sesuatu yang lain. Yang mengganjal dalam pikiran, juga yang masih kutelusuri apa hikmahnya. Ribet amat ya? Memang sih, ada suasana yang berbeda antara Ramadhan dengan bulan lainnya. Orang-orang yang punya rencana ingin banyak menjalankan ibadah di bulan biasa, menjadi lebih mudah mengamalkannya selama ramadhan. Apa ini pengaruh setan dikurung, ya? Bisa jadi

Sepotong Kain Penutup yang Menjulur

Ketika melihat barisan angka di kalender dan penandanya, seketika aku tergelitik untuk menulis. Sejujurnya, aku termasuk golongan orang yang suka bertanya, mengapa hal kecil perlu dirayakan? Contohnya, seperti saat ini, dalam rangka memperingati World Hijab Day . Bahkan untuk memakai kerudung pun ada hari peringatannya? Tetapi lambat laun aku menyadari, peringatan itu tak melulu bersifat personal. Mungkin lebih ke peningkatan kesadaran secara kolektif, mengingat ada urgensi di balik persoalan yang diperingati itu. Seperti peringatan hari ini, persoalan tentang hijab masih jadi bahasan di beberapa kalangan dan situasi. Ada yang berpendapat mengenakannya adalah sesuatu yang wajib, namun tak sedikit pula yang menganggap tidak demikian. Ada yang dilarang menggunakannya, sedang ada juga yang memilih menanggalkannya dengan sukarela. Ada yang prosesnya dimudahkan, ada juga yang mesti kesulitan melaluinya. Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Lah… Sudah lama tersimp

Gegara Lagu Ebiet G. Ade: Kalian, Dengarlah Keluhanku

Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat? Apakah dalam sejarah orang, mesti jadi pahlawan? Ternyata bukan hanya jalan menuju Roma saja yang banyak caranya, memaknai lagu pun sama. Tetapi dari sekian cara yang dilakukan, aku menyukai mereka yang menginterpretasikan sebuah lirik lagu dengan suatu sudut pandang dalam sebuah tulisan, terutama lagu-lagu yang liriknya implisit. Agak ribet yak, wak ? Lagipula katanya, lagu adalah salah satu cara berekspresi kan? Sejujurnya ketika menulis ini, Kalian Dengarlah Keluhanku masih menggema layaknya lagu yang diputar terus menerus. Padahal lagunya sudah berhenti bernyanyi sejam yang lalu. Apa mungkin karena pengaruh koleksi musik papa yang sering diputar dulu hampir setiap sebelum beraktivitas? Sejauh yang aku amati, lirik lagunya om Ebiet belum pernah gagal untuk mengajak orang merenungi fenomena yang ada di sekitar. Dengan catatan, bagi orang-orang yang memang mau memikirkan. Sekalipun dalam bayangan, aku sulit menempatkan diri dalam posisi