Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Susahnya Jadi Tua

Hola guys. Aloha…  Ciee yang akhirnya nongol lagi. Ciee… #apasihmeg?  Pertama-tama, izinkan saya untuk mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah menurunkan ilham untuk menulis gaje lagi di blog ini. Bukan Ilham nama orang.  Kedua-dua, terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selalu support saya termasuk selalu mojok-mojokin saya dengan kata duit. Hehehe…peace.  Ketiga-tiga, buat kamu yang membaca atau mungkin yang selalu menengok blog ini sekedar cek post terbaru ataupun menertawakan ke-gak jelas-anku selaku penulis. Ah… maaf kalian harus buang-buang waktu demi baca post gak jelas ini. Kira-kira, udah cukup belum salam pembukanya segitu aja ? Atau mau dipanjangin lagi? Kalo sanggup bacanya aku sih ayo aja. Kan aku tergantung kamu sayang #apalagiinimeg? Anyway , Ada yang sedang menduga apa yang mau aku bahas? Atau ada yang kepo aku mau posting apaan? Gak ada ya… ?  Yaudah, aku bakalan tetap lanjutin aja sharing time kali ini.  Well , di antara k

Untuk Kamu, yang Tengah Sendiri

 sumber: lenamunzar.blogspot.com Orang bilang ini malam keramat bagi kamu yang masih dalam kesendirian. Menghabiskan sepanjang malam hanya dengan mengamati bintang. Lalu ketika kepalamu lelah mendongak, yang kau lihat hanyalah sepasang kekasih yang tengah memadu kasih. Berbagi rindu, karena seminggu tak bertemu. Merajut jalinan kisah asmara di bawah sinar rembulan. Ah... betapa romantisnya. Lalu dalam keheningan malam, kembali bertanya pada diri sendiri. Meratapi nasib yang masih seorang diri. Berandai seluas samudera, seandainya saja dia ada. Menemani kesunyian hari yang tak pernah reda. Sayangnya itu hanya sebuah bentuk pengandaian yang entah kapan menjadi nyata. Lalu setelah lelah mengandai, kakipun kembali mengukir langkahnya memasuki kamar. Memasuki ruang dimana ia selalu ada. Tempat yang mengijinkan kita melakukan apapun di dalamnya tanpa khawatir stigma negatif. Tempat itu... kini menjadi saksi bisu atas kelamnya hati. Meringkuk di bawah selimut seraya berharap har

Idealis Penakluk Perang

Ideologi adalah mimpi di siang hari yang sulit terealisasi Nyatanya hanya dimiliki kaum petinggi yang menjejaki bumi Menjadi yang paling idealis, walau kondisi semakin menipis Tak peduli pada jeritan histeris, dari kaum yang begitu tipis Yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan visi, walau harus dibayar mati Melawan arus akan dilakukan, bila itu diperlukan Demi terwujudnya hal membanggakan yang disebut pembangunan Tak segan-segan menghalau kuatnya rintangan Apapun akan diperjuangkan selama hayat dikandung badan Tak peduli kritikan, cacian, atau makian Yang dipertaruhkan adalah hasil sebuah pemikiran yang menuai pujian Tetapi apa jadinya bila hasil tak berimbang? Apakah memilih untuk meninggalkan atau berjuang? Hanya kaum idealislah yang dapat menjawabnya tanpa bimbang Sebab ia miliki tujuan untuk pulang dengan menang Menjawab tantangan dari para penyerang yang menatap garang Layaknya auman singa yang menatap nyalang Karena mereka adalah penakluk dunia yang sejati

Untukmu, yang Sedang Bersedih

Terima Kasih. Untuk waktunya mengijinkanku berada bersamamu. Berada diantara ratusan tugu nisan yang berada jauh dari tenda.Pagi ini aku di sana. Berada dalam kesunyian tugu nisan yang mencekam. Ini bukan uji nyali. Tetapi sebuah tugas yang wajib dilakukan. Jadilah pagi ini aku di sana. Dua hari satu malam yang melelahkan memang. Tetapi aku menikmatinya. Meskipun semangat ini kadang luruh bersama suasana hati yang berantakkan. Berada didekatmu katanya mencekam. Kuakui, itu benar. Tetapi tidak seburuk yang kukira. Berada di sekitarmu, membuatku berpikir tentangNya. Tentang tujuan kehidupan. Tentang akhir dari sebuah cerita. Banyak. Hingga saat menjelang kepulanganku. Hei, apa itu? Mengapa tangisan itu deras sekali? Seolah tangisan itu merupakan caramu mengucapkan perpisahan. Tenanglah, aku tidak apa. Bukannya aku tega. Tetapi ini waktu bagiku untuk pergi. Aku tidak mungkin berdiam diri terus bukan? Terima kasih telah mendekatkanku padaNya. Terima kasih telah membuka p

Untukmu, yang Terlihat Sekejap Mata

Malam ini dingin. Tetapi dingin itu tidak menembus ragaku. Sebab sudah ada yang melindungiku kini. Tetapi bagian yang tak tertutupi itu bersentuhan langsung dengannya. Jadilah dingin itu menyapa dan berbagi rasanya. Semua mata terfokus pada satu titik. Beda halnya dengan mataku yang hanya tertuju padamu. Bagian yang luput dari keramaian. Bagian kecil yang terabaikan. Lepas dari satu bagian yang besar. Menari bersama angin malam yang lembut menyapa. Bertemu dengan langit malam yang begitu dingin. Binarmu merupakan hiasan. Menemani malam agar tak sendiri. Agar tak hanya hitam saja yang tampak. Penghias bagi malam yang membutuhkan teman untuk hitamnya selain putih. Sentuhan oranye yang membara Sayangnya hadirmu yang menyapa malam hanya sekilas saja tampak. Lalu kembali menghilang dalam pekatnya. Membawa tanya yang menggantung pikiran. Kemana kamu bersembunyi? Apakah melebur bersama dinginnya malam? Mengapa hanya sebentar saja hadirmu yang kurasakan? Dariku, yang merekam soso

Untuk Kamu, yang Lupa Meluangkan Waktu

Hai, kamu. Iya, kamu! Yang tengah berkutat dengan laptop, kertas, pulpen, dan pensil. Apa kabar? Apakah begitu sibuknya hingga tak sempat untuk meluangkan waktumu? Setidaknya untukmu sendiri. Hai, kamu. Iya, kamu! Jangan lupa untuk menyisakan waktu bagi dirimu sendiri. Untukmu melepas penatmu. Jangan terus berkutat dengannya. Jangan terlalu memforsir dirimu. Ada satu hal yang perlu teringat dalam memorimu. Kamu, bukanlah robot yang bisa bekerja selama 24 jam lamanya. Kamu hanyalah manusia. Biasa saja. Tanpa memiliki kekuatan super. Hai, kamu. Iya, kamu! Mungkin kamu akan tersinggung dengan perkataanku. Aku tahu. Sangat tahu hal itu. Tugasku memang tak sebanyak milikmu. Tanggung jawabku memang tak sebesar dirimu. Tetapi ada kalanya kita tidak perlu terlalu serius. Sebab, ketika semua usai, barulah sesal datang. Membayang, tanpa kenal ampunan. Hai, kamu. Iya, kamu! Jangan lupa bahagia. Itu saja... Dariku, yang memperhatikan kesibukanmu

Untuk Hutang, yang Belum Terbayar

Assalamualaikum, Pak... masih ingat dengan saya? Saya, yang dulu pernah berdiam di depan masjid ini. Menikmati segarnya soto di bawah terik matahari. Mengatasi orkestra yang mendendangkan lara yang sudah bergema sedari pagi karena lelah berdiri, berjemur. Bersama ribuan manusia baru. Kala itu saya masih menjadi manusia yang belum terbangun. Manusia, yang masih menikmati mimpinya sendiri. Sampai detik ini pun sebenarnya masih belum ada yang berubah. Tetapi jika menapaki dinding dimana mimpi pernah terukir dulu, rasanya saya malu sendiri. Karena saya masih tertidur. Di bawah terik matahari memang melelahkan. Bukan karena saya takut menjadi gelap. Hanya saja saya lelah berdiri. Menunggunya, yang terpaksa menjadi pujaan hati. Kala itu, saya masih belum benar-benar menerima kehadirannya yang akan menemani hari-hari saya. Dalam penantian itu, ada jenuh yang melanda. Ia berjalan lama sekali. Lalu saya memutuskan untuk pergi. Berjalan mencari tempat teduh. RumahNya. Rumah yang sanggup

Untukmu, yang Masih dalam Pencarian

Bagaimana? Sudahkah kamu menemukannya? Menemukan kepingan yang masih menjadi misteri atau sudah lama kamu cari? Bagaimana perjalananmu dalam pencarian ini? Menyenangkankah? Aku harap demikian. Semoga kamu menikmati perjalanan ini. Dear you.... Mungkin ini hanyalah sebuah surat terbuka bagimu. Tentang bagaimana perjalanan itu. Kamu wajib untuk membalaskannya padaku suatu hari nanti. Menceritakan padaku bagaimana kisahmu itu. Bagaimana cara yang kamu tempuh dalam perjalananmu. Karena di sini ada aku yang tengah menunggu. Entah menunggu perjalanan yang sering kudengar 'menyenangkan' namun tak sedikit pula yang mengatakan 'melelahkan' atau memang sebenarnya aku sudah berada dalam perjalanan itu, namun kini seperti hilang arah. Rasanya ekspedisi kali ini memiliki banyak tugas untukku. Tentu saja, aku harus menyelesaikannya. Sebelum tiba waktunya pulang. Selama aku belum menyelesaikannya, selama itu pula aku takkan kembali. Bukan inginku, bukan kehendakku, tetapi in

Untukmu, yang tengah berjuang...

  Sabar. Sabarlah. Mungkin, memang inilah langkah awalnya.Ini memang berat. Aku tahu. Karena dulu aku pernah berada dalam posisimu. Karena dulu, aku pernah sepertimu. Ketika menyerah adalah pilihan yang terasa begitu nyata. Ketika ia, mulai menyapa ujung-ujung jarimu. Memintanya, untuk segera bertautan. Tetapi kini pilihan ada padamu. Apakah ingin menyambut hangat uluran itu atau berlari ke arah lain? Menghadapi hal yang sebenarnya mungkin saja dihindari. Jika kini kamu tengah berada dalam dilema, cobalah sejenak untuk menengok langkah terakhirmu. Sudah seberapa jauh melangkah? Sudah berapa lama mengukir kisah? Sudah berapa banyak mengukir sejarah? Sudah berapa langkah mendekati cita? Tidakkah rasanya sayang untuk berhenti melangkah? Sabar... sabarlah... Sakit ini hanya sementara. Perih ini tak akan bertahan lama. Karena setelah ini, ada sembuh yang akan menghampiri. Karena segala hal tidak akan pernah menetap dalam waktu yang lama bukan? Kamu percaya kan bahwa semua b

Tentang Dia yang Kini Berbeda

Dulunya ia begitu hidup… Satu hari terlewati dengan senyum yang selalu mengembang di parasnya. Binar itu pun ikut merona pada wajah cantiknya ketika ia tersenyum. Sapaan serta ucapan manisnya selalu menjadi awal semangat dari kejenuhan hari. Dulunya ia begitu hidup… Melewati hari hanya dengan mendengar tawa renyahnya saja. Seolah tanpa himpitan. Tanpa beban. Tawa yang begitu lepas. Tak peduli hal itu lucu atau tidak. Tetapi hanya dengan mendengar tawanya saja, senyum manis tersungging pada wajah setiap insan yang memerhatikan. Seolah tawa itu menyebarkan virus kebahagiaan. Dulunya ia begitu hidup… Selalu menghibur jiwa-jiwa kesepian. Seperti setetes embun yang membasahi tanah. Seperti itulah ia. Sehingga kesepian itu hilang tanpa bekas. Tanpa jejak pula.   Berganti dengan kehangatan yang sekali lagi menular hanya dari senyumnya saja. Dulunya ia begitu hidup… Tak peduli pada suaranya yang tak semerdu penyanyi sopran. Bahkan cenderung merusak gendang teling

Beginikah Rasanya?

Hallo… apa ada orang? Apa kalian bisa membantuku? Aku butuh pertolongan. Siapapun tolong, muncullah… Apa kalian mendengarku? Oke… lupakanlah…  Sebut saja aku Al. Lengkapnya Alien. Karena untuk saat ini bahkan aku melupakan namaku, juga identitasku. Hanya kata itu yang melintas dalam benakku. Alien. Mungkin karena aku merasa asing di sini. Mirip dengan kisah alien yang tersesat di tempat asing. Tetapi tempat ini sama sekali tak asing. Kalau boleh jujur, tempat ini pun sama dengan daerah asalku. Sama persis. Hanya saja...aku tidak tahu. Bagaimana bisa aku terjebak seperti ini? Aku merasa asing dengan tempatnya. Tempat yang ramai dengan hiruk pikuknya ini berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan di dalamnya. Begitu sepi. Begitu hening. Aku... juga merasa asing dengan suasananya. Jangan tanyakan mengapa begitu kontras. Aku sendiri tengah mencari jawabannya.  Ada yang bisa menjelaskannya padaku?  Beberapa orang berlalu lalang di depanku. Aku mencoba untuk menghen