Langsung ke konten utama

Sebelum Mei Berakhir...


Tanggal 26,
kalau boleh jujur, butuh beberapa hari kemudian untuk mengurai kejadian yang belakangan terjadi dan menyusunnya dalam sebentuk tulisan. Tak ada gagasan pasti selama masa tersebut, semua seperti berebut untuk segera dituliskan. Ujung-ujungnya malah mengikuti kata hati untuk tetap mencatat tanggal ini, walaupun belum selesai.

Alasannya? Terlalu sendu untuk diungkapkan secara gamblang. Nanti malah tengsin sendiri dan enggan kembali untuk sekadar membaca seperti yang sudah-sudah.

Semuanya berawal ketika suatu rencana yang sedikit keluar jalur di awal bulan ini. Pilihan untuk sementara bertahan, terpaksa diakhiri lebih awal dari perkiraan. Sayangnya, antisipasi untuk mengeksekusi rencana selanjutnya belum cukup matang sebagai cadangan. Situasi yang bikin runyam pikiran, seperti hidup tanpa tujuan.

Surel mingguan yang setahun terakhir meramaikan kotak masuk, kali ini menjadi kawan yang paling memahami keadaan. Menuliskan sebuah kisah tentang manusia yang tergolong paling banyak ujian. Mari berandai sejenak; Membayangkan posisi seorang ibu yang hidup dalam jaman yang memerintahkan pembunuhan terhadap bayi laki-laki, sedangkan bayi yang baru saja dilahirkannya adalah seorang laki-laki.

Bukankah sang Ibu dihadapkan pada pilihan yang berat? Jika mempertahankannya, kelak anak itu akan terbunuh. Sedangkan melepaskan anaknya yang masih sangat membutuhkan perlindungan dengan menghanyutkannya ke sungai, melawan nuraninya sebagai ibu.

Tetapi, bukankah Allah selalu memiliki jalan keluar dari arah yang tak pernah disangka manusia?

Sepanjang ingatanku, bukan sekali ini kisah Nabi Musa As memberi hikmah bahwa sekalipun kamu terpojok, selalu ada pertolongan Allah di dalamnya. Ketika menyelamatkan kaumnya dari kejaran Firaun pun juga memiliki makna demikian. Masih ada harapan, sekecil apapun itu, meskipun logika manusia tak sanggup mencernanya.

Kita memang bukan Nabi yang memiliki kelebihan tersebut. Namun seandainya saja, bila berada dalam posisi terhimpit dan satu-satunya jalan keluar yang terbuka tak masuk akal, apakah kamu mau bertaruh dan menurutinya?

Jaman sekarang, mustahil rasanya melihat keajaiban itu secara langsung. Keajaiban yang kutunggu pun juga tak akan terjadi dalam semalam. Tetapi, bukankah Allah mengetahui keadaan hambaNya? Bila ini di luar kehendakku, sekalipun aku tersudut, bukankah Allah sudah menyiapkan yang terbaik dari arah yang tak terduga?

Saat aku bergelut untuk bertahan hidup, perasaan lain yang sama sendunya kembali hadir. Membawaku pada pusaran yang tak asing, seperti bertemu teman yang sudah lama kutinggalkan. Entah bagaimana seketika perasaan itu menyergapku, tetapi kehadirannya membuatku terperangah pada batas samar antara ilusi dan realisasi.

Jawaban tersebut baru kuketahui seminggu kemudian, setelah melihat kabar darinya. Memang tak ada penjelasan lebih lanjut yang menegaskan maksudnya. Tetapi cukup membuatku sadar, ada yang harus layu sebelum sempat berkembang. Menyadari hal ini membuatku hanya tertawa miris dalam sebuah ironi. Sepertinya selama ini aku menjadi berlebihan dalam menaruh harapan.

Belum cukup sampai di situ, mendekati tanggal ini, beberapa kabar kehilangan dari orang terdekat semakin sering kudengar. Dan kehilangan itu terasa serupa pada orang yang tak ada hubungannya sama sekali; Seolah benang-benang halus terhubung di antaranya tanpa disadari.

Bicara soal kehilangan memang tidak pernah mudah, terlebih bila sedang mengalaminya sendiri. Tetapi kata orang, di atas langit masih ada langit. Kehilangan yang saat ini dirasa terlalu berat, bukan berarti yang paling menyakitkan. Bukankah, sejauh hidup membawa sudah beberapa kali dihadapkan dengan kehilangan? Seharusnya sudah terlatih patah hati ya. Sayangnya tetap saja ambyar ketika menghadapinya langsung.

Tetapi ketika hati tengah jernih membaca dan pikiran tak lagi kalut pada luka, apa yang dialami mungkin tak dapat dibandingkan dengan mereka yang masih terjajah dan mengalami genosida. Bila kita hanya mengalami salah satu kehilangan, maka mereka mengalaminya sekaligus tanpa sempat berpikir bagaimana cara bertahan hidup esok hari. Sampai saat tulisan ini lewat dari tanggal postingan yang semestinya, sudah lebih dari 55.000 orang yang menjadi korban jiwa. Itu baru yang terdata, belum termasuk dengan mereka yang masih hilang.

Apakah mereka lelah? Pasti.
Apakah menjadi alasan bagi mereka menyerah? Tidak. Bahkan perlawanan mereka masih berlanjut. Lengkap dengan segala kehilangan dan luka yang mereka alami yang masih terdokumentasi dan disaksikan seluruh penduduk dunia. Meskipun, tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk bisa menyampaikan keadaan yang terjadi pada dunia: bertaruh nyawa.

Rasanya menjadi suatu hal yang ajaib ketika menyadari bagaimana Allah menuntunku dalam memahami hal yang terjadi belakangan ini. Obat untuk mengobati patah hati ternyata bukan mencari hiburan dan kesenangan yang melalaikan. 

Allah menghubungkanku dengan kisah Nabi Musa As lewat surel. Allah menghubungkanku dengan mereka - lewat kajian Baitul Maqdis yang kembali aku ikuti, persis ketika Thufanul Aqsa (Badai Al Aqsa) pertama kali bergemuruh. Allah juga yang menyadarkanku menjelang momen Idul Adha yang akan terjadi dalam hitungan hari ke depan: bahwa setiap pengorbanan, setiap kehilangan, seharusnya membawa kita lebih dekat pada-Nya.

Menghubungkan perasaan kehilangan yang belakangan terjadi dengan saudara-saudara di Palestina membuatku sadar: sejatinya, tak ada sesuatupun yang dimiliki manusia kecuali Allah. Termasuk untuk tidak menggantungkan harapan secara berlebihan. Bukan karena pesimis, tapi karena memahami batasan diri.

Kali ini sumber pribadi

Sebentar, sepertinya masih ada satu hal lain yang baru aku sadari dalam rentang waktu itu. Ternyata semakin berumur, semakin lama waktu yang diperlukan untuk memahami satu hal. Bahkan yang sederhana sekalipun. Apa ini efek pikiran yang jarang dilatih, merasa kebas untuk memaknai sekitar, atau mungkin pengaruh usia dalam merespon keadaan yang mulai melambat? Aduh... bawa-bawa usia.


Komentar