Langsung ke konten utama

Gegara Lagu Ebiet G. Ade: Kalian, Dengarlah Keluhanku


Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat?
Apakah dalam sejarah orang, mesti jadi pahlawan?


Ternyata bukan hanya jalan menuju Roma saja yang banyak caranya, memaknai lagu pun sama. Tetapi dari sekian cara yang dilakukan, aku menyukai mereka yang menginterpretasikan sebuah lirik lagu dengan suatu sudut pandang dalam sebuah tulisan, terutama lagu-lagu yang liriknya implisit. Agak ribet yak, wak?

Lagipula katanya, lagu adalah salah satu cara berekspresi kan?

Sejujurnya ketika menulis ini, Kalian Dengarlah Keluhanku masih menggema layaknya lagu yang diputar terus menerus. Padahal lagunya sudah berhenti bernyanyi sejam yang lalu. Apa mungkin karena pengaruh koleksi musik papa yang sering diputar dulu hampir setiap sebelum beraktivitas?

Sejauh yang aku amati, lirik lagunya om Ebiet belum pernah gagal untuk mengajak orang merenungi fenomena yang ada di sekitar. Dengan catatan, bagi orang-orang yang memang mau memikirkan. Sekalipun dalam bayangan, aku sulit menempatkan diri dalam posisi seperti orang yang diceritakan dalam lagu tersebut. 

Sayangnya, aku gatal untuk menggali perspektif yang lebih. Hingga aku menemukan postingan yang mengaitkannya dalam perspektif sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan ada juga yang membuatku ikutan merenung tentang lembaga kemasyarakatan yang kita punya. 

Ternyata ada juga yang menghubungkannya ke sana. Sedang dalam bayanganku tak lebih dari seorang ayah, mungkin saja mantan narapidana, yang baru bebas dan tengah berjuang untuk menghidupi keluarganya, namun terkendala sulit dapat pekerjaan. Sebab cap buruk yang terlanjur menempel.

Meresapi lirik demi lirik di lagu itu, ternyata mengantarkanku pada pemikiran mendalam tentang stigma; Antara objeknya, orang-orang yang memandangnya, juga dampaknya. Suatu hal yang masih melekat saat ini. Apalagi kalau stigma yang melekat adalah stigma negatif. Sepertinya tiada ampun. Baru bergerak sedikit saja, sudah dicurigai. Bahkan dituduh melakukan yang tidak-tidak. Padahal, bisa saja kan hal yang dilakukan adalah hal yang iya-iya? Hmm… maksudnya melakukan hal-hal dalam batas kewajaran norma di masyarakat.

Tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga.
Seperti hendak telanjangi dan kuliti jiwaku.

Sketsa ini diambil dari sini

Sanksi sosial memang hukuman terberat yang dijatuhkan pada seseorang. Memang tidak menyakiti secara fisik, tetapi cukup untuk menumbangkan mental. Contohnya, lihat saja betapa banyak orang yang tertekan pasca dirundung oleh netizen? Bahkan karena tekanan yang besar ini, beberapa memilih untuk mengakhiri hidupnya sebelum ditakdirkan berakhir, kan? Seolah manusia dituntut tanpa cela di hadapan manusia lainnya. Tanpa dosa, tanpa kesalahan, tanpa kegagalan. Tapi… apa mungkin?

Padahal, kalau menyimak kata-kata motivasi tentang kegagalan, kebanyakan malah mendorong untuk bangkit lagi dan jangan fokus pada kesalahan yang telah dilakukan. Sebab berbuat salah dalam hidup adalah suatu kewajaran. Kalau gak begitu, mana tahu kan mana yang benar dan merupakan hal yang terbaik untuk dilakukan? Ya…, asal gak mengulangi lagi kesalahan yang sama sih. Kalau begitu mah namanya bengal.

Gagal bukan berarti kalah, justru itu adalah kemenangan yang tertunda. Gitu sih katanya. Jadi… menurut kesimpulan dari pengamatan ala kadarnya, para motivator justru menganjurkan untuk bersahabat dengan kegagalan, sekalipun rasanya tak semanis rayuanmu, kalau ada maunya madu.

Bila gagal adalah suatu kesalahan, kekurangan, atau kasarnya suatu cacat yang seharusnya dimaklumi, mengapa masih banyak yang terpaku pada kekurangan tersebut? Apa orang yang pernah memiliki catatan buruk, tidak layak untuk mendapat kesempatan berubah? Meminjam liriknya om Ebiet: Apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah?

Hmm… rasa-rasanya memang sulit untuk mengubah persepsi yang telah terlanjur tertanam di pikiran terhadap suatu hal. Secara gak langsung jadi mudah menaruh prasangka pada seseorang hanya karena kesalahan yang pernah dilakukannya. Padahal, seperti halnya kita, perihal masa depan pun mereka tak tahu. Karena sama-sama tidak tahu, wajar kalau menjadikan masa lalu seseorang menjadi tolok ukur untuk mengira-ngira orang seperti apa yang dihadapi. Sayangnya, ternyata kekurangan seseorang di masa lalu masih jadi sasaran empuk untuk dicela. Ups

Mungkin juga tanpa disadari, kita sudah terlalu dalam menghakimi seseorang berdasarkan masa lalu yang dimilikinya. Padahal kalo kata om Ebiet, "Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum dengan sinar mataNya yang lebih tajam dari matahari."

Versi berwarna, agar hidup tidak terlalu suram

Jadi, apa tanpa sadar kita sudah menjadi manusia yang melampaui Tuhan dengan kesombongan yang ada dalam diri? Ebusettt…. Istighfar banyak-banyak abis ini.

Tapi…. nasib sudah menjadi bubur sih. Apalah daya? Nyatanya, memang sesulit itu bagi seseorang dengan stigma negatif membersihkan namanya. Eh, aku jadi teringat salah satu kutipan dari Buku langit. Orang yang mengaku beriman dan bertaubat saja masih diuji untuk melihat mana yang serius dan mana yang berdusta. Barangkali, demikian pula halnya dengan orang-orang ini. Memulihkan nama baik memang sulit, tapi Allah Maha Tahu seberapa besar usaha kita dalam mencoba.

Tuhan, bimbinglah batin ini agar tak gelap mata.
Dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu.


Semoga Allah menguatkan orang-orang yang sedang dalam ujian untuk tidak gelap mata.


Komentar