Dulunya ia begitu hidup…
Satu hari terlewati dengan senyum yang selalu mengembang di parasnya.
Binar itu pun ikut merona pada wajah cantiknya ketika ia tersenyum. Sapaan
serta ucapan manisnya selalu menjadi awal semangat dari kejenuhan hari.
Dulunya ia begitu hidup…
Melewati hari hanya dengan mendengar tawa renyahnya saja. Seolah
tanpa himpitan. Tanpa beban. Tawa yang begitu lepas. Tak peduli hal itu lucu
atau tidak. Tetapi hanya dengan mendengar tawanya saja, senyum manis
tersungging pada wajah setiap insan yang memerhatikan. Seolah tawa itu
menyebarkan virus kebahagiaan.
Dulunya ia begitu hidup…
Selalu menghibur jiwa-jiwa kesepian. Seperti setetes embun
yang membasahi tanah. Seperti itulah ia. Sehingga kesepian itu hilang tanpa
bekas. Tanpa jejak pula. Berganti dengan
kehangatan yang sekali lagi menular hanya dari senyumnya saja.
Dulunya ia begitu hidup…
Tak peduli pada suaranya yang tak semerdu penyanyi sopran.
Bahkan cenderung merusak gendang telinga. Walaupun sering menuai komentar,
tetapi ia hanya terkekeh. Orang yang menegurnya pun tidak benar-benar
mengatakannya. Karena mereka tahu, suaranya lumayan, walau banyak terdapat nada
sumbang disana-sini. Karena ia memang
tidak pernah memiliki niat untuk menjadi seorang penyanyi. Melainkan sebagai
biduan yang mengusir sepi.
Dulunya ia begitu hidup…
Selalu menjadi tempat berpulangnya insan yang lelah dengan
peliknya kehidupan. Menularkan senyum semangatnya sekali lagi. Menopang dengan
kata bijaknya bak motivator. Seolah ia banyak memakan asam garam kehidupan. Kemudian mengobarkan bara semangat itu sekali
lagi.
Lalu… apa kabarnya ia kini? Kemana perginya senyum itu? Kemana perginya semangat itu?
Tak terdengar lagi tawa yang membuat sekelilingnya pun
merasa bahagia. Tak ada lagi senyum yang selalu memiliki aura. Tak terdengar
lagi suara khasnya sebagai biduan pengusir sepi.
Kemana ia melangkah? Apakah ia telah beranjak?
Belum. Dia belum beranjak. Ia masih tetap berada disana. Hanya
saja ia diam. Tanpa senyum yang terukir di wajahnya. Wajah itu kini begitu
datar. Walau sesekali ia menunjukkan keramahannya, menunjukkan bahwa ia
baik-baik saja, tetapi itu tak bertahan lama. Ia begitu menikmati sendunya sepi. Tanpa ingin
diusik sejengkalpun.
Komentar
Posting Komentar