“Hai…,”
Sosok itu hanya
bergeming. Tidak ingin menanggapi. Menatapnya dengan sorot dingin.
“Kenapa kamu datang lagi? Bukankah kamu yang menyuruhku
pergi?”
Yang ditanya hanya tersenyum. Sembari mengambil tempat
di sampingnya. Cukup lama untuk mengisi kekosongan karena nihil tanggapan darinya.
“Bagaimana kabarmu kawan?"
Dia hanya memandang bingung kepada penanya. Perasaan kesal
dan marah yang sempat dipadamkan kembali membara dan berbaur menjadi satu. Apa pedulinya? Toh, dia telah
meninggalkannya.
“Lupakanlah.. itu bukan urusanmu. Kenapa kamu datang
lagi?”
Yang ditanya tertawa kali ini. Meyakinkan dirinya kalau dia mulai
membencinya. Jujur saja… dia tak memiliki kuasa untuk menyakitinya. Dia hanya menjalankan apa yang disebut takdir. Takdirnya
tidak menginginkannya bersatu dengan sosok di hadapannya kini.
Seandainya saja, dia bisa mengubah takdir. Dia akan
mengijinkannya untuk mengenalnya lebih dalam. Membiarkannya jatuh cinta
kepadanya. Tetapi sekali lagi dia tak punya kuasa. Dia juga tak berhak untuk
dipuja lebih dari Tuhannya.
Dia juga seorang
hamba. Tetapi banyak yang memandang tinggi dirinya. Seandainya saja mereka tau,
betapa sengsaranya hidup dengannya. Betapa menyusahkannya dia.
“Aku datang untuk menanyakan persiapanmu. Bagaimana? Sudah
siapkah kamu untuk memilihku lagi?" tanyanya kemudian. Sosok itu hanya diam. Dia
bahkan sudah melupakannya.
“Untuk apa? Kalau toh bukan kamu yang aku tuju, untuk apa
aku mempertahankanmu? Bukankah katamu orang tuaku tengah menungguku agar tidak
menyia-nyiakan harapannya?”
Benar. Yang baru saja dikatakannya memang benar. Kata-kata
yang dulu pernah diucapkannya padanya, hanya untuk mengusirnya menjauh. Tetapi kenapa
ada yang sedikit menyayat perasaannya ketika mendengarnya?
“Rupanya kau mulai mencintai apa yang ditakdirkan untukmu
ya? Baiklah. Maafkan aku yang dulu pernah menyakitimu. Aku hanya ingin agar kau
bisa bangkit dari keterpurukkan ini. Karena dunia, tidak seperti apa yang kau
impikan. Terkadang ia melenceng dari harapanmu. Tetapi hanya satu yang perlu
kau ingat. Ia selalu bersamamu. Mintalah kepadaNya. Niscaya Ia akan
menunjukkannya padamu. Janganlah bersedih. Sebab Ia tau apa yang terbaik
untukmu. Ia lah sebaik-baiknya perencana. Teruslah percaya dan bersyukurlah
atas nikmatNya untukmu.”
Dia hanya tersenyum kecut. Lagi-lagi nasihatnya membuka mata
hatinya yang tertutup karena cinta. Ya… cintanya padanya. Bukan kepadaNya.
Harapannya selalu berharap padanya. Bukan kepadaNya. Pikirannya selalu tertuju
padanya. Selalu mengingatnya. Bukan mengingatNya.
Padahal dia tau... tidak. Tepatnya dia baru mengetahuinya. Bahwa
Ia selalu mencemburui hati yang berharap selainNya. Ah, kenapa tidak sejak dulu
saja dia mengetahuinya? Agar dia tidak perlu merasakan pengharapan ini.
Pengharapan yang membuat patah arahnya.
"Sudah kewajibanku untuk mengingatkanmu padaNya. Bagaimana? Apa kau masih menginginkannya?"
Dia menghentikan langkahnya sejenak. Menatap sosok itu. Mungkin ini kali terakhirnya melihatnya. Tetapi kali ini tidak ada lagi rasa kesal. Dia ikhlas dengan segala keputusanNya nanti. Apakah dia akan berujung dengannya atau tidak. Kini, dia melemparkan senyum kepadanya. Biarlah ini menjadi teka-tekinya.
"Kita lihat saja nanti."
Komentar
Posting Komentar