Langsung ke konten utama

Di Persimpangan Hati 2


“Hai…,”
  
Namun sosok itu hanya bergeming. Tidak ingin menanggapi. Menatapnya dengan sorot dingin.

“Kenapa kamu datang lagi? Bukankah kamu yang menyuruhku pergi?”

Yang ditanya hanya tersenyum. Sembari mengambil tempat disampingnya. Lama tidak ada jawaban darinya. 

“Bagaimana kabarmu kawan?”

Ia hanya memandang bingung kepada penanya. Perasaan kesal dan marah berbaur menjadi satu. Apa pedulinya? Toh juga dia telah meninggalkannya.

“Lupakanlah.. aku muak mendengarnya. Kenapa kamu datang lagi?”

Yang ditanya tertawa kali ini. Meyakinkan kalau ia mulai membenci dirinya. Jujur saja… ia tak memiliki kuasa untuk menyakiti sosok diahadapannya kini. Ia hanya menjalankan apa yang disebut takdir. Takdirnya tidak menginginkannya bersatu dengan sosok ini.

Seandainya saja, ia bisa mengubah takdir. Ia akan mengijinkannya untuk mengenalnya lebih dalam. Membiarkan ia jatuh cinta kepadanya. Tetapi sekali lagi ia tak punya kuasa. Ia juga tak berhak untuk dipuja lebih dari Tuhannya.

 Ia juga seorang hamba. Tetapi banyak yang memandang tinggi dirinya. Seandainya saja mereka tau, betapa sengsaranya hidup dengannya. Betapa menyusahkannya ia.

“Aku datang untuk menanyakan persiapanmu. Bagaimana? Sudah siapkah kamu untuk memilihku lagi?” tanyanya kemudian. Sosok itu hanya diam. Ia bahkan sudah melupakannya.

“Untuk apa? Kalau toh bukan kamu yang aku tuju, untuk apa aku mempertahankanmu? Bukankah katamu orangtuaku tengah menungguku? Agar tidak menyia-nyiakan harapannya?” 

Benar. Yang baru saja dikatakannya memang benar. Kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan padanya, hanya agar dia menjauhinya. Tetapi kenapa ada sedikit sakit mendengarnya?

“Rupanya kau mulai mencintai apa yang ditakdirkan untukmu ya? Baiklah. Maafkan aku yang dulu pernah menyakitimu. Aku hanya ingin agar kau bisa bangkit dari keterpurukkan ini. Karena dunia, tidak seperti apa yang kau impikan. Terkadang ia melenceng dari harapanmu. Tetapi hanya satu yang perlu kau ingat. Ia selalu bersamamu. Mintalah kepadaNya. Niscaya Ia akan menunjukkannya padamu. Janganlah bersedih. Sebab Ia tau apa yang terbaik untukmu. Ia lah sebaik-baiknya perencana. Teruslah percaya dan bersyukurlah atas nikmatNya untukmu.”

Ia hanya tersenyum kecut. Lagi-lagi nasihatnya membuka mata hatinya yang tertutup karena cinta. Ya… cintanya padanya. Bukan kepadaNya. Harapannya selalu berharap padanya. Bukan kepadaNya. Pikirannya selalu tertuju padanya. Selalu mengingatnya. Bukan mengingatNya. 

Padahal ia tau... tidak. Tepatnya ia baru mengetahuinya. Bahwa Ia selalu mencemburui hati yang berharap selainNya. Ah… kenapa tidak sejak dulu saja ia mengetahuinya? Agar ia tidak perlu merasakan pengharapan ini. Pengharapan yang membuat patah arahnya. 


"Terima kasih untuk selalu mengingatkanku tentang kuasaNya," ucapnya sambil bangkit dari duduknya. Ingin meninggalkannya. Karena ia tak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya jika ia semakin lama disini. Sosok itu hanya tersenyum kepadanya.

"Sudah kewajibanku untuk mengingatkanmu padaNya. Bagaimana? Apa kau masih menginginkannya?" 

 Ia menghentikan langkahnya sejenak. Menatap sosok itu. Mungkin ini kali terakhirnya melihatnya. Tetapi kali ini tidak ada lagi rasa kesal. Ia ikhlas. Ia ikhlas dengan segala keputusanNya nanti. Apakah ia akan berjodoh dengannya atau tidak. Kini, ia melemparkan senyum kepadanya. Biarlah ini menjadi teka-tekinya.

"Kita lihat saja nanti."


Komentar