“Apa yang kamu inginkan?”
Ia berpikir sejenak, sebelum memastikan pilihannya. “Aku
ingin kamu.”
Yang bertanya hanya bisa mendesah kecewa mendengar jawaban
yang ditanya. “Sebaiknya lupakan saja aku,” ujarnya pelan, tetapi penuh
penegasan.
“Kenapa? Kenapa aku harus melupakanmu?"
“Karena kita tidak sejalan”
“Tetapi aku bisa melakukannya, jika aku mengusahakannya”
“Apakah kamu bisa menentang apa yang digariskan Tuhan padamu?”
Ia kembali berpikir. Dia benar. Sekeras apapun ia mencoba,
pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan. “Tapi apa salahnya aku mencoba? Biarkan
aku mengusahakannya. Beri aku satu kali lagi kesempatan.”
Yang bertanya hanya menggeleng. Tidak, ini tidak baik
untuknya dan untuk dia. “Percuma saja jika kamu mencoba. Itu hanya akan
mengorbankan waktumu.”
“Tapi aku tidak merasa membuang waktuku.”
“Tetapi orangtuamulah yang nantinya akan kecewa. Mereka sudah lama menunggumu.”
Ia mendesah kecewa. Kenapa dia tidak mengerti? Selama ini, dialah yang ia inginkan. Dialah
yang ingin ia gapai. Dialah yang menjadi mimpi di setiap tidurnya. Tetapi kini…
bahkan dia juga yang menolaknya.
“Sudahlah, lupakan aku. Kejarlah apa yang kamu miliki
sekarang. Karena kini jalan kita telah berbeda. Lagipula kamu sendiri telah
mengetahui bukan betapa buruknya aku? Betapa menyengsarakannya aku? Aku tidak
ingin kamupun mengalaminya juga. Maka, kupilih jalan ini.”
Tidak. Ia tidak ingin melepasnya. Terlalu sakit
mengikhlaskannya sekarang. Ia sudah banyak berjuang untuk sampai di titik ini.
Termasuk mengorbankan yang paling berharga darinya. Hanya demi dia. Tidakkah
dia mengerti?
“Lalu bagaimana jika
kamulah yang harus aku tuju?”
Yang ditanya menghentikan langkahnya yang makin menjauh.
Ditatapnya mata sosok yang kini menanti jawabannya itu. Tetapi ia hanya
tersenyum tipis. Susah sekali untuk meluluhkan hatinya.
“Jika itu yang terjadi, maka terjadilah. Aku Ikhlas menerima keputusanNya. Tetapi bagaimana jika ternyata bukanlah takdirnya? Apa yang akan kamu lakukan?”
“Jika itu yang terjadi, maka terjadilah. Aku Ikhlas menerima keputusanNya. Tetapi bagaimana jika ternyata bukanlah takdirnya? Apa yang akan kamu lakukan?”
Lagi. Sosok itu hanya terdiam. Ia tidak tau harus menjawab
apa. Inikah yang disebutnya takdir? Apakah ia memang harus melepasnya? Ia hanya
terdiam dalam perdebatan batinnya sementara dia kembali melangkah. Menjauhinya.
Sebelum bayangnya benar-benar menghilang, ia menoleh kembali kepada sosok itu.
“Sudahlah, terima saja keputusanNya. Inilah yang mungkin
terbaik untukmu. Bukankah Dia telah berjanji, akan memberikan jalan yang
terbaik untukmu meskipun mungkin kau menyakitiNya? Ia tetap menyayangimu. Dia,
yang cintaNya tak pernah mati untukmu. Jika memang Dia berkehendak, maka
jadilah. Tetaplah berusaha, tetaplah berdoa. Tetapi jangan terlalu mengharapku.
Sebab hanya Dialah yang berhak untuk diharapkan. MengharapkanNya, tidak akan
sesakit mengharapkanku. Karena cintaNya sungguh nyata untukmu. Sekalipun kamu
tidak menyadarinya.”
Dia pun menghilang. Meninggalkan ia yang kini tengah
bersimpuh. Lelah dengan segala perdebatan batinnya. Allah… kenapa ia lupa? Kalau ia masih memilikiMu? Tidak seharusnya ia menjadi kufur nikmat. Seharusnya
ia bersyukur atas apa yang ia dapatkan kini.
Sesaat kemudian isak tangis memenuhi ruangan serba putih
itu. Ya… ia menangis. Airmata yang sedari tadi ditahannya tumpah sudah. Ia
begitu menyesali dirinya kini karena begitu angkuhnya menentang takdirNya. Ia
lupa, bahwa Allah telah memberinya nikmat yang berharga. Ia ingin kembali.
Apakah terlambat waktunya kini?
Komentar
Posting Komentar