Langsung ke konten utama

Bagaimana Jika...


Sedang asyiknya blog walking dan melihat tanggal kapan postingan terakhir itu ditulis, 
seketika aku berpikir....
Bagaimana jika si pemilik blog yang aku kunjungi sudah tinggal nama?

Sedang bertukar sapa dan saling bertanya kabar walau hanya lewat ketikan. Melihatnya online dari sebaris status yang terpampang di layar, 
aku seketika berpikir...
Bagaimana jika itu menjadi saat terakhir berbicara dengannya?

Sedang asyik menertawakan sebuah lelucon, dan menikmati saat berkumpul bersama mereka -orang-orang yang menempati jajaran prioritas utama-, 
seketika aku berpikir...
Bagaimana jika momen ini tidak lagi ditemui di lain hari?

Jangan tanyakan mengapa. Aku pun tak mengerti bagaimana jika... membawaku pada sebuah pemikiran mengenai batasan. Lengkap dengan sendu sebagai pengiring detik yang senantiasa menghantarkan setiap langkah menuju batasan itu. Untuk sebuah pengandaian yang tiada terencana, seharusnya tak sejauh itu, kan?   

Seharusnya....
Tapi tidak seharusnya. 

Jauh pada suatu negeri, tiada sempat memiliki waktu untuk berandai. Bagaimana mungkin? Jika hadirnya perpisahan serupa cahaya kilat dengan kesenjangan yang terbuka lebar. Bila bukan mereka, maka kita. Begitu pun sebaliknya. Setiap jiwa, siap atau tidak akan berujung menceraikan dunia dan seisinya. Menuju tempat yang diketahui dari 'katanya'. Berjumpa dengannya, yang Maha Segala.  

Bagaimana jika yang ada dalam situasi seperti itu adalah kita? 

Sulit sekali dibayangkan. Sepertinya tidak akan sempat waktu untuk berpikir. Tetapi bibir tiada pernah mengering dari mengingat dan menyebutNya. Perbedaan terjadi begitu drastis, batas imaji ini begitu realistis. Waktu bergerak anomali, dan yang masih mencerna yang terjadi, dipaksa menerima takdir.  

Lalu aku berkaca pada diriku, yang duduk terdiam dalam suatu sudut menulis suatu catatan. Diilhami dari tulisan seorang yang mengguratkan pemikirannya saat itu. Jika aku harus mati...

Jika aku harus mati, kamu harus tetap hidup. 
Untuk menyampaikan kisahku. 
Untuk menjual peninggalanku. 
Untuk membeli secarik kain dan benang
(buatlah yang putih dengan ekor yang panjang). 

Hingga seorang anak, pada suatu tempat di Gaza 
yang melihat surga di depan matanya, 
menanti ayahnya yang pergi dalam kobaran api, 
-dan tanpa ucapan selamat tinggal, 
tidak dengan jasadnya, pun dirinya- 
melihat suatu layangan, 
layanganku yang kau ciptakan, 
terbang tinggi di angkasa. 
Dan sejenak berpikir,
seorang malaikat di sana, 
membawa kembali cinta. 

Jika aku harus mati, 
biarkan membawa harapan, 
biarkan menjadi cerita. 

Bagaimana jika.... aku yang dihadapkan dengannya? 


Note: 
Sajak di atas adalah terjemahan semampunya dari sebuah catatan yang ditulis oleh Refaat Alareer, seorang sastrawan Gaza yang telah syahid dalam Thufan Al Aqsa setelah tempat bernaungnya diluluhlantakan tentara pendudukan. Semoga Allah merahmati beliau dan mereka yang berpulang demi menjaga Baitul Maqdis.

Gambar diambil dari laman akun pribadi penulis



Komentar