Langsung ke konten utama

Surat Maryam, Natal, dan Bethlehem


Dalam suatu mihrab, seseorang bermunajat pada Tuhannya. Memintanya mengabulkan pengharapannya dengan sangat lembut. Katanya, "Sungguh belum pernah sekalipun aku kecewa untuk meminta padaMu. Sebab kekhawatiran sepeninggalku, maka karuniailah aku seorang yang akan mewarisiku, dan keluarga Yakub, dan jadikanlah ia seseorang yang engkau ridhai.”

Tak lama kemudian, Tuhan pun memperkenankan doanya di tengah kemustahilan nalar manusia. Tetapi… bukankah tidak ada yang tidak mungkin bagiNya?

Lalu kisah tentang seorang perempuan yang dimuliakan karena kepatuhannya pada Tuhannya. Suatu ketika, di tengah pengasingannya, beliau bertemu sosok asing yang sempurna. Tetapi keindahannya justru menjadikannya memohon kepada yang Maha Pengasih dari sesuatu yang keji.

Hingga sesosok asing itu menerangkan siapa dirinya dan apa yang diperintahkan padanya. Sekali lagi, kabar tentang sesuatu yang mustahil bagi nalar manusia. Tetapi kuasaNyalah yang menentukan apa yang dikehendakiNya.

Kemudian perempuan itu mengandung dan mengasingkan diri ke tempat yang jauh. Dalam perjalanannya, beratnya mengandung serta letihnya melawan derita memaksanya berhenti pada suatu tempat. Mengeluhkan apa yang dirasakannya.

Tetapi dengan kemurahanNya, lagi-lagi Tuhannya mengutus utusan yang dapat meringankan deritanya. Mengalirlah anak sungai di bawah kakinya. Pangkal pohon kurma yang menggugurkan buahnya hanya untuknya ketika dia mengguncangkannya. Dan seorang bayi, yang keluar dari rahimnya, yang bernama Isa bin Maryam. Kelak menjadi pelindung atas tuduhan keji tanpa dasar pada bundanya dengan menjelaskan sebab kehadirannya ketika masih dalam buaian.

***

Katanya, di tengah segala kemustahilan, selalu ada pertolongan Allah yang menjadikannya mungkin bila Ia menghendaki. Katanya, bagi mereka yang mendambakan keturunan, ingatlah kisah Nabi Zakariya ketika meminta pada Tuhannya. Juga ketika mengalami sulitnya kehamilan hingga melahirkan, ingatlah bahwa Bunda Maryam pun pernah melaluinya.

Aih… mungkin itulah sebabnya mengapa durhaka pada orang tua terutama ibu adalah dosa besar. Patutlah aku catat elok-elok selagi masih menjalani peran sebagai seorang anak.

Seusainya menyelami kisah tersebut semalam, aku menyadari baru saja suatu kebetulan menghampiri tanpa terduga. Sebuah kisah tentang kelahiran, di malam yang memperingati suatu kelahiran.

Baru ngeh gambar ini ada nenek-neneknya 😅


Pada akhirnya terjawab sudah mengapa hari ini disebut hari Natal. Konon inilah hari yang diyakini terjadinya peristiwa kelahiran itu, bagi para pemeluknya. Bethlehem, adalah nama daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran Al-Masih, Sang Juru Selamat.

Sedari kecil, perayaan Natal selalu disambut dengan meriah dan penuh suka cita setiap tahunnya. Lagu-lagunya, pohon cemara dan ornamen yang menghiasinya, santa klaus berbaju merah dan kereta kencana yang ditarik rusa berhidung merah, juga salju buatan sepertinya tak pernah absen menghiasi sudut-sudut publik sejak memasuki Desember.

Ya, salju buatan, berhubung di Indonesia tidak akan pernah turun salju sungguhan seperti negara empat musim lainnya. Seolah dinginnya suhu di musim dingin tidak menghalangi mereka yang merayakannya dengan penuh kehangatan. Sesekali aku juga ingin mendengar cerita bagaimana mereka memaknai hari tersebut.

Sayangnya pada tahun ini, tidak ada perayaan Natal di Bethlehem.

Perayaan yang biasanya diramaikan dengan hiasan lampu pada pohon natal yang meriah di Manger Square ditiadakan. Gemerlap kemeriahan itu seolah redup bersama dengan puing-puing bangunan yang berserakan akibat perang di Gaza, beberapa kilometer jauhnya dari Bethlehem. Justru di tanah kelahirannya, perayaan itu absen.

Ilustrasi kelahiran Yesus yang diadaptasi dari peristiwa saat ini di Gereja Lutheran Evangelical di Tepi Barat, Kota Bethlehem. Sumber: Al Jazeera

Bethlehem masih berduka, Gereja di sana pun demikian. Rumah Sakit Baptis Al-Ahli Al Ma’madany, dan Gereja Santo Porphyrius menjadi bukti bahwa umat Kristiani di Gaza pun tak luput jadi sasaran selain umat Muslim. Dimanapun mereka berada di penjuru Gaza, tidak ada tempat yang aman untuk berlindung. Sudah lebih dari belasan ribu jiwa terbunuh dalam peristiwa ini sejak 7 Oktober lalu.

Sebagai aksi solidaritas dengan rakyat Palestina di Gaza, sebuah karya seni berjudul ‘Nativity Under the Rubble’ menjadi tema di Manger Square. Dekorasinya menampilkan latar beberapa puing bangunan yang hancur sebagai simbol perjuangan dan penderitaan yang tengah dihadapi penduduk Gaza. 

"This is a message to the whole world that the whole world is celebrating Christmas, but not Bethlehem. Bethlehem this year is celebrating Christmas in a different way with a message to the whole world that Palestine is suffering. That Bethlehem is suffering. That Bethlehem is celebrating Christmas from the rubble. Not like all other people in the world." 

Dekorasi perayaan Natal di Manger Square, Nativity Under the Rubble. 
Sumber:
Al Jazeera

Sebagai kaum yang tidak ikut merayakan Natal…
Aku paham bagaimana sedihnya merayakan hari kebesaran/hari raya dalam keterbatasan dan nuansa duka. Masih jelas dalam ingatanku, Lebaran beberapa tahun terakhir pun tak sepenuhnya dalam suka cita. Sebab teringat mereka, saudara seiman yang ketenangan beribadahnya terusik selama Ramadhan hingga hari kemenangan.

Bukankah untuk dapat beribadah dengan tenang sesuai kepercayaan yang diyakini adalah hak asasi yang seharusnya tak boleh dilanggar siapapun?

Tak ada kedamaian dalam hari yang seharusnya membawa kedamaian. Ironis, ketika seharusnya menyambut hari besar yang datangnya sekali setahun dengan suka cita, tetapi menahan diri karena duka yang menyelimuti. Lebih ironis lagi ketika seseorang memilih menutup mata dan larut dalam perayaan tanpa peduli luka yang dihadapi saudara terdekatnya.



Rujukan:  
QS. Maryam: 2-9, 16-35
Al Jazeera: Galeri foto Perayaan 'hening' Natal di Palestina
Al Jazeera: Tradisi Natal di Palestina yang Absen akibat Perang
BBC Indonesia: Kisah Umat Kristiani di Gaza selama Perang


Komentar