Langsung ke konten utama

Prasangka


Ada satu postingan menarik yang aku temui pagi ini 😊.

Sebenarnya, ini adalah cerita seorang murid yang menulis awal bertemu sampai pengalaman belajar dengan gurunya tersebut. Ternyata, ada momen dimana interaksi mereka dalam proses belajar itu tak selamanya berjalan mulus. Ada saat-saat ketika si penulis merasa tak sepaham dan jadi punya prasangka sama gurunya, sedang gurunya tak sedikitpun menggubris.

Kalau dalam posisi itu, kesel gak sih merasa diabaikan? 
Eh, tapi apa iya boleh tantrum dihadapan orangnya? Apalagi ini seorang guru. 🤔

Postingan itu bisa lebih lanjut dibaca di sini. Yang aku garis bawahi adalah ketika si penulis menyadari bahwa dia perlu proses untuk memahami. Ada waktu yang diperlukan sampai akhirnya dia menemukan jawaban atas prasangkanya. Untungnya, selama dalam proses tersebut, semua prasangka itu disimpannya sendiri. Gak kebayang kan, kalau udah terlanjur tantrum dan apa yang disangka tidak terbukti? Malunya itu lho 😶‍🌫😖…

Hal ini jadi mengingatkanku pada suatu kisah di Quran. Tepatnya kisah tentang pertemuan antara Nabi Musa As dan Nabi Khidir dalam surat Al Kahfi. Dalam perjalanannya, banyak hal yang membuat Nabi Musa merasa heran dengan yang dilakukan Nabi Khidir sehingga bertanyalah beliau. Padahal sebelumnya, Nabi Musa sudah menyanggupi untuk tidak bertanya sampai Nabi Khidir yang menjelaskannya. Apakah tidak menimbulkan sesuatu di benak Nabi Musa? Entah, tapi sepertinya dugaan-dugaan itu ada. Nabi kan juga manusia, dengan porsi tanggung jawab yang lebih besar. 

Perjalanan itu dikisahkan usai setelah Nabi Musa bertanya untuk yang ketiga kalinya setelah berulang kali berjanji untuk tidak bertanya lagi. Tetapi sebelum berpisah, dijelaskanlah maksud dari apapun yang dilakukan Nabi Khidir, yang tampak tidak biasa bagi Nabi Musa. Kisah yang membuatku tersenyum sendiri dan diingatkan lagi tentang bagaimana seharusnya adab seseorang dalam menuntut ilmu.

Usai membaca postingan tersebut, aku jadi menyadari bahwa punya prasangka terhadap suatu hal yang asing bagi kita itu ternyata wajar. 

Hmm, gimana yak? 

Berpikir sambil mengamati barisan semut-semut hitam

Mungkin ini semacam setelan otomatis di otak sebagai mekanisme pertahanan diri atau biasa kita pahami sebagai antisipasi. Tenang, ini bukan masalah kok. Justru jadi salah satu hal yang perlu disyukuri. Sebab bukankah itu membuktikan kita masih punya otak? Yah, meskipun kadang-kadang gesrek dikit 🤭.

Sebagai golongan orang yang menyadari suka kelewatan dalam berpikir, sepertinya prasangka atau dugaan bukan sesuatu yang asing. Justru gak ada dia, gak rame. Apalagi, kalau bukan karena dialah yang jadi pemicunya? Tiap kali menghadapi hal baru, secara otomatis otak sudah mengatur segala skenario untuk menduga kemungkinannya. Lah, gak bahaya tah? Emang boleh menduga-duga gini?

Meski proses menduga-duga itu seringkali menimbulkan tanya, jawabannya gak selalu ditemukan saat itu juga. Bahkan sebelum jadi pertanyaan, memang tak ada jawabannya. Uh… ribet amat nulisnya 🙃.

Yang diperlukan adalah kemauan untuk sabar menanti waktu yang tepat sampai akhirnya terjawab segala prasangka yang pernah muncul tanpa diduga. Meskipun seringnya malah tidak terbukti. Persis seperti cerita si penulis yang kubaca tadi.

Dua contoh sebelumnya adalah bukti bahwa namanya orang belajar, pasti punya dugaan dalam memproses apa yang dipelajarinya. Bikin tugas akhir saja perlu ada hipotesis alias dugaan, sebelum dianalisis kemudian. 

Ketika ini ditarik ke proses belajar yang terjadi seumur hidup, prasangka gak hanya menyangkut hal yang baru dipelajari. Tapi bisa juga terhadap situasi ataupun orang yang berkaitan dengan suatu kondisi.

Kalau sudah biasa berprasangka baik, mungkin tidak akan jadi masalah. Tapi, bagaimana kalau yang tercipta justru prasangka yang buruk sehingga timbul rasa enggan berhadapan dengan yang bersangkutan?

Ah, masa bodohlah. Apalagi kalau hanya berlaku sementara.

Masalahnya, sementaranya itu berapa lama? Selama dalam kurun waktu tersebut, apakah ada jaminan untuk benar-benar terlepas tanpa harus berhadapan kembali?

Jawabannya, tidak ada yang tahu.
Dalam beberapa situasi saja, kadang kita ‘dipaksa’ untuk berhadapan dengan sesuatu yang tidak disukai. Pernah kan, menghindari suatu hal, tapi malah itu yang sering muncul? Persis. 

Mungkin, dari hal tersebut, bisa jadi ada hal besar yang jadi pelajaran berarti. Allah menghadirkan melalui perantaranya. Lalu, apa masih bisa acuh tak acuh untuk menghindar hanya karena sesimpel ‘tidak suka’?

Barangkali, kita selalu lupa kalau punya keterbatasan termasuk cara pandang terhadap suatu perkara. Padahal, belum tentu yang dipandang baik benar-benar membawa manfaat. Belum tentu juga buruknya suatu hal, tidak ada kebaikan di dalamnya. Mungkin sikap yang terlalu reaktif pada suatu hal merupakan hasil dari prasangka yang tidak terkendali. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, itu masih dalam pikiran doang. Belum terbukti kebenarannya. Maka benarlah kalimat Allah, ‘Sesungguhnya aku sesuai prasangka hambaKu’.

Sepertinya, kalau ini mempengaruhi suatu hubungan, perlu ada penyamaan persepsi untuk menyetarakan cara pandang. Atau, paling tidak, meminimalisir celah untuk berprasangka yang bukan-bukan.

Pantesan, pas baca novel Negeri 5 Menara, soal saling mengizinkan antara pihak yang mengajar dan diajar dijadikan suatu tradisi. Padahal sama saja seperti proses belajar di sekolah umum, kenapa perlu saling memberikan ridha dan keikhlasan untuk diajar dan mengajar? Ya... sebab gak menutup kemungkinan ada khilaf yang timbul di dalamnya yang bisa saja menyakiti kedua pihak.

Jangankan pada makhluknya, terkadang dengan khilafnya manusia juga sering meletakkan prasangka buruk pada penciptanya. Padahal penciptanya lebih mengetahui 🙂

Komentar