Langsung ke konten utama

Bagaimana Rasanya Belajar di Pesantren?


Beberapa saat yang lalu, ketika kegabutan melanda dengan hebatnya, akhirnya aku menamatkan membaca sebuah buku. Setelah sekian lama 😑.

Buku ini sebenarnya udah lama ada di rumah. Jadi pajangan di atas meja tanpa pernah dibaca. Mungkin karena takdirnya harus dibaca dan bukan lagi menjadi sebuah pajangan, terbacalah halaman demi halamannya baru-baru ini.


Btw, ini cover terbitan pertama. Sumber: Goodreads

 
Adakah yang pernah membaca novel ini?

Sepertinya banyak juga yang udah baca. Mengingat novel ini memang pertama kali terbit tahun 2009. Bercerita tentang kisah seorang anak bernama Alif Fikri dan kehidupannya selama mengenyam pendidikan di pesantren bernama Pondok Madani (PM). Termasuk, bertemu dengan sohibul menaranya dan membicarakan perihal impian yang ingin mereka gapai masing-masing. Ternyata sebelumnya, belajar di sana bukanlah tujuan Alif. Dia hanya menuruti perintah ibunda. Berbekal niatan setengah hati, siapa menduga banyak kisah yang menjadi hikmah tak hanya bagi penulis, tetapi juga pembacanya? Eh iya, konon cerita yang ditulis diilhami dari kisah penulisnya sendiri selama belajar di pesantren.

Bicara soal latar cerita yang dominan berkisah di pesantren, novel ini sekaligus memberikan perspektif berbeda dari stigma kehidupan di pesantren pada umumnya. Setelah dipikir lagi, sebagai orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren, aku merasa sedikit iri tertinggal dengan mereka yang pernah belajar di sana dalam hal mendapatkan ilmu. Ibarat kata, kalau aku belajar cuma pengetahuan umum doang, mereka bahkan belajar ilmu pengetahuan umum plus ilmu agama (yang ternyata gak cuma gitu aja).

Kalau begitu aja udah bikin aku ngeluh, apa kabarnya mereka? Padahal yang namanya proses belajar memang gak pernah mudah kan?

Ada beberapa hal unik dari metode belajar di Pondok Madani yang diulas dalam buku ini (dan menurutku menarik). Pertama, gak ada penggunaan bahasa Indonesia (native language) dalam lingkup pesantren. Para santri diwajibkan berbicara dalam bahasa asing (Bahasa Arab ataupun Inggris). Lah kok? Padahal kalau dipikir-pikir, kebanyakan santrinya aja mungkin malah gak biasa pakai bahasa Indonesia ketika di rumah saat itu.

Kedua, belajar modal ikhlas. Eh, mana bisa?
Bisalah. Kan yang keluar uang waktu kita sekolah dulu orang tua. Kita mah tinggal datang ke sekolah bawa buku dan alat tulis, lalu duduk manis di kelas. Sembari menerima dengan pasrah perkara tugas yang datangnya keroyokan. Udah 😁. Tetapi emang sebenarnya beneran bisa😊. Belajarnya diniatkan semata untuk mencari ridha Ilahi sembari mendapatkan ilmu yang bermanfaat 😇. Kami ikhlas untuk mengajar kalian, dan kalian ikhlas untuk diajarkan kami. Tsaaahh🌟

Nah, yang terakhir yaitu tradisi merayakan ujian.
Kalau biasanya menjelang minggu-minggu ujian kita panik sendiri, ‘senggol bacok’ mode on dan sebagainya, beda halnya di Pondok Madani. Hmm… kayaknya kalau mbak Najwa Shihab ataupun Maudy Ayunda diberi kesempatan belajar di sini bakalan girang deh.

Anyway, buku ini sudah diterjemahkan juga dalam beberapa bahasa, salah satunya bahasa Inggris. Jadi, buat teman-teman yang mau sharing buku bacaan dengan kawan luar negerinya, bisa banget recommend buku ini untuk dinikmati. Selain itu, pembaca juga diajak untuk merasakan bahwa proses belajar yang selama ini terlihat membosankan dan gak banyak yang suka itu sebenarnya indah. Kalau bagi orang yang haus akan ilmu pengetahuan, nuansa belajar yang kental diceritakan di sini ibarat surga. Apalagi buat orang yang lagi mencari inspirasi biar punya motivasi untuk bangkit lewat sebuah cerita.

Sebenarnya masih banyak hal menarik lainnya yang bisa diulas dari buku ini. Tapi daripada kepanjangan dan malah ngalor ngidul (plus jadi bosen baca), silahkan menikmati sendiri petualangannya😉. Lagipula, bikin orang lain penasaran untuk menemukan sendiri sensasinya rasanya lebih menarik😁✌.


Komentar