Langsung ke konten utama

Menulis Pun Kudu Sabar


Kalau ada beberapa kata yang tak bisa disampaikan secara lisan, maka setidaknya masih ada tulisan yang jadi pilihan.

Cieileh, baru kata pembuka aja udah begitu bahasannya.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya I'm one of kind people who better say it with writing. Hampir-hampir, semua pemikiran yang gak bisa aku suarakan, aku ungkapkan lewat tulisan. Hmm, lebih terstruktur aja gitu rasanya. Maybe before it's done, already think twice on how to deliver it and having many times of corrections. Sampai akhirnya, Oke deh.

Buat aku sendiri, berhubungan dengan tulis menulis itu udah semacam adiksi. Ada semacam excitement ketika berhasil menyelesaikan satu tulisan dan membaca lagi isi tulisan itu. Kalau udah selesai nulis, jadi ketagihan untuk bikin tulisan baru. Walaupun kendalanya sudah sangat hapal di luar kepala, mau nulis apa lagi habis ini?

Oleh karena seringnya ketemu ide mendadak dikala situasi sedang tidak memungkinkan untuk menulis lebih lama, jadi aku simpan saja dulu semuanya dalam sebuah catatan. Yup, aku hanya menuangkan isi pikiran saja sebelum dia hilang dan gak bisa dimaknai lagi. Sebenarnya, banyak sih perantara untuk menuliskan ide tersebut. Entah di buku catatan, aplikasi notes di handphone, ataupun di sini, di blog ini.


Aku cukup sadar kalau beberapa tulisan yang dibuat hanyalah refleksi dari apa yang aku pikirkan dan rasakan terhadap suatu hal dalam pandangan objektif versiku. Alias, sebagian besar hanya sekadar opini pribadi. Sedikit harapan, barangkali juga bisa jadi perantara jawaban bagi seseorang yang sedang mencari perspektif lain di luar sana.

Kalau sudah begini, apalagi ketika tulisan itu menjadi bahan bacaan untuk orang lain, maka ruang gerakku sebagai orang yang menulis sebenarnya semakin menyempit. Meskipun katanya punya kebebasan berpendapat, somehow tetap aja ada aturan yang berlaku di dalamnya. Ada pertanggungjawaban yang secara gak langsung dibebankan. Gak bisa lagi menulis yang asal menulis menyuarakan isi pemikiran sendiri saja. Gak bisa lagi menulis hanya mempertimbangkan faktor kepuasan dan kesenangan pribadi. Bukannya memang ada konsekuensi dari setiap hal yang dilakukan?

Tak mungkin foto sendiri. Copyright to the owner (pixabay.com)

Setelah melakukan penjelajahan dengan membaca ulang beberapa tulisan sendiri yang dipublish, utamanya dalam blog, ternyata masih banyak juga faktor human error di dalamnya. Masih banyak tulisan yang gak luput dari kesalahan. Masih ada juga beberapa tulisan yang secara gak langsung menyinggung beberapa pihak meskipun tidak bermaksud demikian.

Pertama, mungkin dari segi isi tulisan atau content. Well, aku setuju kok kita tercipta memang bukan sebagai people pleaser. Begitu juga dalam menulis, mau sebaik apapun tujuan kita, akan ada saja yang masih salah paham. Mungkin daripada yang sependapat, lebih banyak juga kali ya yang menghujat perkara ide yang disampaikan? Udah risiko sih 😁

Kurangnya perspektif dalam mengerti orang lain yang menjadi bahasan, apalagi kalau tulisannya kontra terhadap suatu ide, mungkin juga bisa jadi salah satu faktor. Hehehe, ini jadi catatan khusus untuk mereka yang berniat menyuarakan pendapat untuk meluruskan pemahaman pihak lain sih. Atau bahasa simpelnya, tulisannya bertujuan untuk menginfluence orang lain. Apalagi kalau bahasannya tentang personal opinion.

Kadang, mengetahui kebenaran itu emang pahit dan gak jarang bikin sakit. Tapi sudah menjadi tugas penyampai pesan untuk mengemas hal itu menjadi sesuatu yang perlahan bisa diterima oleh akal dan nurani. Kalau masih juga ngerasa tersinggung padahal udah hati-hati dalam menyampaikan, ya… mungkin bukan sepenuhnya salah penyampai pesan. Bisa juga dari kita, sebagai penerima pesan. Hehehe 😁

Tenang, terkadang aku pun demikian. Mungkin karena belum siap kali ya menerima kebenaran itu? Meskipun di akal mengiyakan sih. Ketahuan kan, betapa susahnya untuk nurut dan taat?

Kedua, gak melulu perkara content, tapi bagaimana isi pesan tersebut bisa diterima orang lain. Hmm… mungkin seperti seni dalam menyampaikan (?).

Jadi ingat, para alim ulama, dalam menyampaikan pesan ke orang yang lebih awam. Untuk menyampaikan kebenaran tersebut, pasti juga memikirkan gimana caranya meluruskan pemahaman atau suatu pesan kebaikan itu bisa diterima. Bagaimana caranya agar hal menyimpang yang masih dilakukan oleh kita yang banyak belum mengertinya ini bisa diperbaiki dan tidak diulangi lagi. Apalagi kalau bertemu yang tipenya ngeyelan atau susah menerima kebenaran. Karenanya, gaya penyampaiannya pun berbeda. Gak bisa disamakan untuk golongan yang satu dengan yang lainnya.

Read full caption here: instagram.com/abun_nada/

Dari beberapa kekurangan itu aku jadi berpikir perihal menyampaikan pesan itu sebenarnya bukan hal yang mudah. Apalagi dalam dunia tulis menulis, dimana salah tangkap makna sangat rentan terjadi. Ada silang pendapat, atau risiko multi tafsir yang mungkin salah satu penyebabnya adalah keterbatasan mengungkapkan. Sebab bukankah bahasa punya batasan dalam menerjemahkan isi pikiran? Sedangkan untuk mengerti suatu hal saja kadang kita perlu lihat gambaran besarnya yang menunjang, kan?

Bukan cuma pas nulis aja sih, pas ngobrol secara langsung pun juga demikian. Kudu dipikir baik-baik dulu kan, gimana enaknya menyampaikannya biar yang bersangkutan gak salah sangka? Biar gak merasa tersinggung karena berasa digurui tapi nasihat atau isi pesannya bisa tepat sasaran. Namun, sebaik-baiknya menyampaikan pesan adalah yang bisa mengutamakan adab dulu baru ilmu. Again, I think, in every way it is.

Berkaitan dengan menyampaikan, aku jadi inget pernah sharing dengan beberapa orang tentang suatu tulisan yang menurutku mungkin isi tulisannya bisa dia terima, mengingat kami memiliki kesamaan pandangan dalam beberapa hal. Meskipun mungkin bahasanya memang sedikit nyelekit (menyinggung) sih. Sayangnya, tulisan itu ditanggapi berbeda. Lalu, apakah penyampaian tulisan dengan gaya yang halus diterima dengan baik juga? Belum tentu. Ada juga yang merasa ilfil dengan isi tulisan tersebut.

Sepertinya, ujung-ujungnya adalah tergantung bagaimana kondisi hati saat menerima. Namun sangat disayangkan, bila ada yang jadi trauma karenanya, sehingga enggan untuk membaca lebih lanjut tulisan dari penulis tersebut. Padahal baru satu tulisan saja yang dibaca belum cukup untuk menggambarkan siapa dan seperti apa penulisnya kan?

Hmm… mungkin karena berpikir gaya penyampaiannya akan sama saja kali ya? Walaupun, pada kenyataannya belum tentu demikian. Sebab, gak cuma perihal informasi, para penyampai pesan pun juga sebenarnya masih berproses dalam menemukan zona nyamannya. Sangatlah wajar bukan apabila mengalami perubahan dalam karyanya dari waktu ke waktu?

Hehehe… 

Btw, sebagai penulis yang notabene masih amatir dan juga beberapa hal yang sebelumnya aku jabarkan di atas, tulisan ini bertujuan untuk meminta maaf secara terbuka kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan beberapa isi tulisan, utamanya di blog ini. Harap dimaklumi bila kedepannya, mungkin ada khilaf yang muncul lagi tanpa sengaja. Penulis menerima kritik dan saran secara terbuka demi penyampaian tulisan yang lebih baik lagi 😊


Komentar