Langsung ke konten utama

Romansa dalam Lembaran Kain



Sebenarnya rada telat sih untuk menceritakan ini sekarang. Sebab cerita kali ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Tepatnya, ketika aku sedang sibuk mempersiapkan salah satu perintilan pernikahan.

Apa? Pernikahan?

Iya. Kalian gak salah baca kok. Memang saat itu aku sedang mempersiapkan kebutuhan untuk sebuah pernikahan. Lebih tepatnya bukan pernikahanku.

Nah... Entah karena emang udah kelamaan menyendiri, atau emang kurang hal-hal manis dalam hidup, beberapa kejadian sembari mencari sepotong kain ini membuatku sensitif alias gampang tersentuh alias terbawa perasaan (baper) padahal cuma hal kecil doang. Apalagi, ini bukan persiapan pernikahan sendiri. 

Singkat cerita, kisah ini dimulai ketika aku memasuki kawasan pertokoan kain di Denpasar. Memang, sedari menjelajahi satu persatu toko, mataku gak berhenti mengamati gulungan-gulungan kain yang dipamerkan dengan beragam warna, jenis, ataupun motifnya, walaupun hanya dari emperan toko sih. Begitu juga ketika memasuki toko pertama ini.

Sebenarnya, gak ada yang spesial dari suatu kegiatan melihat deretan kain sambil ngebayangin, 'Ini kain bagusnya dibikin apa yak?' 

Terus spesialnya apaan? Sabar. 
Yang spesial, nasi goreng pakai telor 2 buah. Hehehe. Apasih? 😑

Ketika lagi asik ngeliatin deretan kain itu sambil milih bahan buat bikin kebaya, aku melihat seraut wajah yang tak asing. Iya, tak asing. Sayangnya, aku gak kenal siapa orangnya. Gimana mau kenalan? Aku cuma sering lihat orang ini di masjid dekat kampus tanpa pernah ngobrol. Sama sekali gak pernah terjadi interaksi. 

Anehnya, rasa penasaranku mencuat hanya karena beberapa kali melihatnya sepintas. Jiah... Penasaran. Bukan jenis penasaran yang naksir gebetan gitu sih. Bukan. Gak percaya? Udahlah, percaya aja. 

Terakhir kali aku melihatnya lagi bukan di masjid. Tapi pas acara wisuda. Itupun juga gak sengaja, waktu lagi asik selfie sama temen yang diwisuda. Aku sempat berpikir, mungkin aja itu bakal jadi terakhir kalinya aku melihatnya. Sebab, dia juga ternyata adalah salah satu orang yang diwisuda hari itu. 

Btw, mungkin aja dia gak ngeh. Atau tepatnya sih gak akan peduli. Wong selama beberapa kali berpapasan, kejadiannya kurang dari semenit. 

Aku gak yakin dia ingat pernah berulang kali melihatku ada di masjid dekat kampus. Terbukti, ketika aku udah selesai milih kain. Secara tak terduga dia kebetulan jaga meja kasir. Gak ada raut wajah kaget waktu melihatku. Benar-benar hanya raut yang datar dan lempeng. Ya... memang harus bagaimana lagi?

Yupp... Ternyata dia adalah orang yang punya toko atau mungkin masih kerabatnya(?). Bahkan sampai tulisan ini selesai ditulis, aku gak tau namanya siapa. Terus... Kenapa gak kenalan?

Hehehe... Buat apa? Toh juga kalau mengingat raut wajahnya saat itu kayak orang lagi bete nunggu waktu berbuka puasa yang masih luaaaammaa. Mana enak buat sekadar diajak basa basi? 

Lagian, akan jadi aneh kalo seandainya saat itu juga aku tanya namanya. Meskipun emang 'aneh' udah jadi ciri khasku, tetap aja, untuk hal kayak gini masih jadi pengecualian. Siapa tau dia langsung ngerasa creepy kan ketemu cewek yang tiba-tiba langsung sok kenal sok akrab? Hehehe... 

But at least, I know how to find him. Wkwkwk. Ya Allah, jadi kayak cabe-cabean yang mengharapkan pangeran tampan. Kenapa mendadak jadi kerasukan jin genit gini sih?

Itu baru cerita pertama. Kepanjangan yak? Gak papa... Hitung-hitung ngabisin waktu baca, kan?

Kejadian lainnya adalah waktu nyari bahan untuk bikin bawahan yang pas buat kebaya. Hehehe... Ini masih cerita tentang berburu kain. Cuma latar tempat dan pelaku cerita yang sedikit berbeda. 

Oke, aku sempat memasuki toko lainnya, dan di toko itu, aku menemukan bahan yang kira-kira bakalan cocok sebagai bawahannya (rok) untuk kebaya. Tetapi, karena mau menyulitkan diri dengan menambah opsi, jadilah kami memutuskan untuk menjelajah toko lainnya. 

Tetapi yang namanya rejeki emang gak kemana, seberapapun mencari, sebanyak apapun mengunjungi, sejauh apapun harus mengelilingi, kalau udah cocok sama satu pilihan, pasti akan kembali pada pilihan tersebut. Begitu juga kami yang memutuskan untuk kembali lagi ke toko itu. Gimana gak? Cuma motif itu yang terbayang. Cuma itu yang rasanya pas. Jadi, ya gitu.

Tapi aku benar-benar gak nyangka. Ternyata si Bapak pemilik toko yang tadi sempat ditinggal, masih ingat dengan kami. Iya, dia ingat. Sepertinya ini jadi kali pertamaku ngeh kalau diperhatiin seseorang terang-terangan. Sebelumnya mungkin pernah juga sih, tapi kan hanya sebatas dugaan. 

Berarti, si bapak merhatiin banget dong ya gerak gerik yang kami lakukan di sana pas debat pilih kain? Ya Allah... Semoga bukan hal malu-maluinnya yang diingat.

Sambil memotong kain yang akhirnya dipilih, Bapak itu cerita kalau dia mengira kami gak akan balik lagi. Walaupun kemudian dilanjut dengan cerita tentangnya, tokonya, dan juga anaknya yang baru lulus (kebetulan anaknya juga di situ membantu bapaknya). Bapak itu memang ramah. Seperti bertemu teman lama, cerita kemana-mana sampai lupa tujuan awalnya apaan. 

Bagian yang bikin terenyuh itu, ketika tau bahwa kami diharapkan. Padahal, bukankah yang namanya pembeli, sangat wajar untuk hanya singgah tanpa transaksi dan tak kembali? Apalagi di deretan toko yang memiliki kesamaan barang yang dijual. Adalah suatu hal yang wajar pula bila pedagang gak terlalu mengingat pembelinya yang berlalu, kan? Tapi... Itu kok... Argh...

Kenapa dengan menyadari hal ini membuatku tersentuh sendiri? Udah kayak diberi perhatian doi walaupun it means nothing, because he just being nice. Bajiguuurrr.

Well... Sepertinya perjalanan memilih kain kali ini bakal memorable. Secara, sampai ditulis di sini, kan? Cerita yang sebenarnya sederhana. Tapi entah kenapa, kalau dipikir-pikir lagi, bisa bikin senyum gak hilang-hilang dari wajah. Ah elah... Segitunya. Udah kayak orang yang lagi jatuh cinta aja.

Komentar