Langsung ke konten utama

Tentang September




Mari lihat seberapa jauh aku bercerita dalam hitungan kesembilan ini.

Tak banyak hal yang kuukir. Masih tentang usaha untuk menjadi baik. Aku rasa, sepanjang hidup pun akan terus bergumul dengan hal ini. Entah sampai kapan. Sulit memang. Bukankah ujian memang tak pernah mudah? Bila mudah, mengapa harus ada ujian?

Sekali lagi, jawaban sudah kuketahui dengan pasti. Yang tidak pasti adalah keinginan yang mudah diterbangkan angin. Yang tidak pasti adalah hasrat untuk membawa diri jatuh. Yang tidak pasti adalah tentang suatu masa yang terus dipertanyakan sedang hadirnya saja belum tentu mendapat sambutan.

Tak perlu bertanya, mungkin sudah tahu bukan apa jawabannya. Lelah. Tetapi lelah saja tidak akan menuntaskan masalah. Aku tahu itu. Aku juga belum ingin menyerah. Bisa saja inilah salah satu kesempatanku menikmati hidup walau dengan payah.

Ah…

Satu episode lainnya sudah kulakoni. Mungkin pula untuk menyangkal bahwa aku tidak selemah yang dikira.

Aku selalu menyukai perjalanan, malam hari, hutan, dan makna. Pada gelap yang menyapa, aku hanya terus menelusuri suatu hal yang membuatku mempertahankan senyumku. Mungkinkah melihat bulan yang bersinar disana? Atau melewati hutan yang diterangi sinar bulan? Ataukah karena pada akhirnya, aku menikmatinya seorang diri?

Cukup mengkhawatirkan untuk aku yang tidak terbiasa. Tetapi aku menikmati satu demi satu tantangan yang aku alami. Tak terlalu sulit. Ataukah karena aku yang terlalu senang pada akhirnya merasa bebas untuk waktu yang lama?

Aku tahu, tidak seharusnya aku merasa senang dikala duka itu menyapa. Tetapi aku tidak dapat membohonginya. Aku menikmati perjalanan itu walau dalam nuansa duka.

Ah…

Aku bukanlah pelukis kata yang hebat. Aku tahu. Aku hanya mengutarakan sebagian saja. Sebab selebihnya terlalu sulit untuk dijabarkan. Tetapi rasa bisa memahami yang tersembunyi bukan? Walau hanya prasangka seorang diri.

Satu hal yang pasti kurasakan juga, Aku menikmati warna rasa lainnya. Hanya saja aku menjadi lebih sering menyimpannya sendiri. Dalam suatu ruang tak bernama.

Ah…

Tidak semua warna rasa itu indah. Salah satunya adalah paranoia yang tak bisa kuelak lagi. Harus segera dituntaskan bukan? Iya. Aku tahu. Sebab tak ada lagi waktu untuk menundanya, setelah sekian lama.

Tetapi, Tolong!
Bagaimana cara menasehati diri untuk tidak menjadi seorang pengecut pada rasa takut? 
Adakah yang tahu?


Komentar