Photo by Dominik Martin on Unsplash |
Perkara waktu yang selalu bergulir, aku tak menyangka bahwa ini sudah menginjak hitungan keempat. Bila membuka ruang ini dan melihat secara lebih luas, mungkin ada banyak hal yang mengalami perubahan. Bohong bila aku berkata bahwa aku tak berubah. Sebab aku adalah salah satu komponen jagat raya yang juga mengalami dimensi waktu.
Tidak banyak secara fisik. Yang berbeda ialah gejolak dalam
diri. Entah, darimana sumbu ini berasal, tetapi secara perlahan ia berpijar.
Pemberontakkan, penyangkalan, hingga berani menyalahkan keadaan. Ia semakin
bergerak tanpa kendali. Seolah nasihat para tetua tak begitu memiliki arti. Ia
hanya alunan yang sengaja berdendang untuk menemani sepi. Hanya lewat, tanpa
pernah menetap dan tinggal.
Ah… bahkan tidakkah kau rasakan sendiri tentang
bara yang masih berpijar lewat rangkai aksara ini?
Untuk sedetik kesadaran, aku mencoba merekanya dalam hening.
Mengoreksi tentang catatan merah diri yang telah banyak terukir. Juga masih
saja menjadi tugas tanpa mengenal kata akhir. Sedetik aku menyesali, namun
kemudian berubah tak peduli. Hanya untuk sekedar mengetahui tanpa mau repot
untuk menoleh kembali. Sekadar menjadi catatan hitam yang menjadi pengingat
walau akan selalu diabaikan.
Peduli amat. Ini
adalah hidup yang aku jalani. Mereka hanya bisa menilai, tanpa peduli bagaimana
aku melalui. Lalu mengapa pula aku harus bersusah payah peduli dan membenarkan
diri dari garis merah tersebut?
Ah… sekali lagi, bocah pembuat onar ini berkonflik dan
membangkitkan kebebalanku. Dia mungkin saja benar, walau tidak sepenuhnya.
Lalu, dalam hening yang damai sesekali aku bertanya. Inikah
hidup yang nyata aku tempuh? Mengapa seperti mimpi? Mengapa kakiku seolah
kehilangan tanah untuk berpijak? Ini terlalu nyaman. Sisi warasku menolak ilusi
semu semacam ini. Ah… tetapi sepertinya sisi bebalku memenangkan logika saat
ini. Masa bodoh pada apa yang terjadi tanpa mau susah untuk membangkitkan diri.
Lihat kan? Betapa sisi-sisi itu seperti permukaan koin yang
saling bertentangan. Jangan bertanya bagaimana aku menghadapinya. Kamu sendiri
sudah dapat merasakannya bukan?
Terlepas dari kemelut yang mencipta bayang pada benakku.
Untuk sesaat pun aku lupa. Perihal Ia, yang seharusnya tak kulupakan. Perihal
Ia, yang seharusnya tak kutinggalkan. Perihal Ia, yang seharusnya tak
kukecewakan juga.
Berapa kali aku sudah mengecewakanNya? Berapa kali berjanji
tetapi masih mengingkariNya? Berapa kali aku merasa jauh dariNya? Bagaimana
bisa aku mengaku cinta tapi tak membuktikannya? Bagaimana bisa aku memahami
tapi tak menjalankannya?
Ah… ini sudah sangat keterlaluan. Enyah saja kau hitam.
Jangan usik hari baruku dengan wujudmu yang membutakanku. Terima kasih, untuk
membuat sekat itu menjadi nyata. Terima kasih untuk mencipta jurang yang nyaris
menghempaskanku. Terima kasih, telah membuat sesal itu hanya angin lalu yang
seolah selalu mendapat ampunanNya.
Tetapi ini salah. Ini tidaklah benar. Aku tahu itu.
Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mendekat kembali? Mengapa
kenikmatan ini begitu melenakkan? Mengapa aku harus terjerembab dalam dunia
yang kunikmati tapi tak kuinginkan?
Aku tidak tahu, bagaimana aku akan menghadapi hitungan selanjutnya. Masihkah aku bertahan seperti ini? Atau, adakah sinar menyapa yang memberiku setitik harapan dalam angka yang berganti?
Komentar
Posting Komentar