Langsung ke konten utama

Menghadapi Kebuntuan

Photo by Josh Hild on Unsplash

Sebenarnya, aku gak tahu kemana jari-jari ini akan mengetik huruf di papan keyboard. Atau, kemana cerita ini akan mengalir. Atau...

sebenarnya kamu mau ngapain sih, Meg?
Mau bertingkah malu-maluin lagi?
Hehehe… mungkin.

Tapi sepertinya, aku akan kembali membuat pengakuan yang sebenarnya cukup bikin malu berhubung seorang Mega sudah biasa demikian.

Jadi, post ini mungkin di luar ekspektasi. Sebab, ini hanya sebuah catatan kusut dari orang yang merasa masih belum memiliki arti. Tssaahh…

So,
Belakangan ini, aku sedang berada dalam tahapan gak ngerti mau kemana sebenarnya alias hilang arah. Mungkin, kebanyakan orang sulit untuk mengakui situasi terpojok dan buntu seperti ini. Serasa membuka satu kunci kelemahan. Tetapi sesaat kemudian aku berpikir, mungkin sesekali mengakui kelemahan gak masalah. Bukan berarti lemah, tapi capek kali lah kalau terus menerus menekan diri biar terlihat kuat padahal sebenarnya tidak. Mana tau kan ketemu teman senasib sepenanggungan yang lebih experienced, jadi bisa dimintain pendapat sekalian?

Rasanya yang aku hadapi belakangan ini terlalu banyak. Terlalu banyak riuh. Terlalu banyak mau. Terlalu banyak rencana. Hingga terlalu banyak bingungnya. Wah, seharusnya sih bukan waktunya lagi menurutku untuk tetap berada dalam zona ini. Aku hanya perlu untuk fokus dan bertingkah masa bodoh terhadap keriuhan yang membuyarkan. I know.

Sayangnya lain di hati, lain pula di kepala. Entah proposal macam apa yang perlu dibuat untuk meyakinkan pikiranku agar tak lagi menolak bekerjasama. Aku tengah kehabisan akal untuk merayu.

Hal yang cukup bikin sakit adalah ketika sesuatu yang menjadi pelarian untuk melepas kalut turut berimbas. Bahkan untuk sekadar menulis sebuah kata pun sulit. Sudah berapa lama hidup? Mengapa masih sulit memahami mau hati?

Semua mendadak membosankan. Bosan dengan permainan kata yang berulang. Bosan dengan perdebatan yang itu-itu saja. Bosan dengan rutinitas yang itu lagi-itu lagi. Bahkan tempat yang kulalui saja juga sama membosankannya.

Aku tahu, mungkin akan muncul saran untuk mencari variasi lainnya. Tetapi yang terjadi, pikiranku masih setia membelot. Kalau sudah begitu, aku bisa apa?

Ah… Mungkin aku perlu liburan. Siapa disini yang mau mengajakku jalan-jalan?

Tetapi begitu diajak beneran, belum tentu kamu mau kan, Meg?

Bukannya sombong sih. Hehehe…
Ada terlalu banyak alasan klise yang terdengar konyol tetapi memang begitulah adanya. Mulai dari kurang uang jajan, hingga ke-mager-an hakiki yang sukses membatalkan beberapa niatan yang dirancang. Huft… percayalah, aku sendiri suka sebal kalau sudah berujung seperti ini.

Okelah, kalau toh akhirnya aku memaksakan diri untuk jalan ke luar sebentar, di perjalanan bukannya menikmati hal yang dilalui sembari membersihkan ruang hati dan pikiran, malah asik perang batin. Perasaan negatif itu muncul. Merasa bersalah lagi, karena tak sepantasnya aku bersenang-senang di tengah tekanan yang menghimpit dan menuntut penyelesaian. Ibaratnya, aku lari seperti itu bukan penyelesaian terbaik, menurut logikaku yang sekali lagi semaunya sendiri.


Refreshing seperti itu mungkin akan memberi nyawa baru bagi jiwaku yang keruh. Tetapi sepertinya itu hanya membuatku sejenak lupa. Jadi salah satu caranya, aku harus mencari jalan lain pada situasi buntu ini.

Aku mulai mengadukan semuanya pada Allah. Entah akan langsung ditunjukkan jalan keluarnya atau mungkin masih diuji sedikit lagi sembari dipilihkan jalan keluar yang terbaik secara bertahap. Berdoa setiap hari, mendekatkan diri setiap hari dan lainnya. Tetapi, berdoa aja tanpa action apapun belum cukup, kan? Tetap saja, usaha dan doa harus berjalan beriringan.

Jadi, langkah yang aku ambil adalah…

Membebaskan apa mau hati dengan mengabaikan sementara dampak yang kemungkinan akan disesalkan. Kalau hati maunya pergi, ya pergi. Kalau maunya lari ke alam mimpi, ya sudah. Nikmati dan rasakan momennya ketika melakukannya.

Sekilas sih emang kayak buang-buang waktu, tapi ini mungkin healing yang sebenarnya dibutuhkan dengan catatan tidak merugikan orang lain. Terkadang, kita masih lupa kalau hati itu hidup dan bisa juga merasa jenuh. Jadi... ya, semoga tindakan semau hati ini tidak menyakiti yang lain.

Nikmati apa yang tengah jadi masalahnya. Hmm... ini sih tergolong ekstrim. Gimana bisa masalah dinikmati? Tapi... Lebih keliru lagi untuk menghindari suatu masalah, malah membuat masalah baru. Jadi, selesaikan satu masalah dulu meskipun mungkin lama sekali untuk menemukan jawabannya. Just enjoy the ride tho. 

Pelan-pelan, pikirkan dan cari apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikannya. Karena kadang, bisa saja itu jebakan pikiran sendiri yang kalut, sehingga masalah itu seolah mustahil untuk dipecahkan. Sepertinya perlu menepi untuk ngomong sendiri, sekadar melisankan apa yang berseliweran dalam pikiran. Pastikan tidak ada yang memperhatikan kalau tidak mau disangka gila. Jangan lupa, fokus. 

Kalau ngomong sendiri udah, dan malah jenuh, coba sesekali untuk gali dari sudut pandang lain. Bisa jadi karena terlalu fokus sama masalahnya, ada hal kecil yang terlewat yang bisa saja menjadi kartu trufnya. Terkadang, tidak selalu tentang akar masalah, tapi bagaimana caranya. Eh tapi.... jangan sampai melebar kemana-mana. Perlu buat batasan apa yang perlu dan tidak perlu. Ini sih lebih tepatnya mengendalikan pikiran.

Buat coretan dari perdebatan hati dan pikiran. Kurang kerjaan banget ya? Ya, gak perlu ditulis semuanya. Cukup intinya saja. Baca baik-baik apa yang kamu tulis kemudian kalau ada yang bisa disimpulkan, simpulkan. Ini salah satu cara untuk merekam jejak ide yang muncul. Barangkali pikun menyapa lebih cepat karena kebanyakan masalah, dan masih di situ-situ aja.

Kalau sekiranya itu merupakan jawaban, mulailah dilakukan. Sekecil apapun itu yang penting konsisten. Abaikan ego yang merasa gengsi melakukannya, apalagi kalau itu malah bikin gak berkembang. Semua perlu proses, wajarkan kalau yang terlihat saat ini gak selalu wah?


Intinya, dari semua langkah itu aku belajar cara mensugesti isi pikiran. Aku tahu ini gak mudah dan masih tertatih dalam melakukannya. Lebih mudah berteori daripada penerapannya.

Tapi, berulang kali mengeluh dan menghindar malah makin membuatnya keruh. Makanya mungkin pada fase ini, gak sedikit orang yang mengalami depresi. Bahkan bila semakin parah, gak menutup kemungkinan kan ada saja pilihan untuk mengakhiri sebelum waktunya?

Dan… sebenarnya, tulisan ini adalah salah satu terapi untuk mengatasi kebuntuan yang ditimbulkan beberapa faktor yang tengah menghimpitku saat ini.


Komentar