Bila Januari adalah rencana, maka Februari menyapa dengan
cerita berbeda. Tak perlu ku akui lagi pada semesta, tentangku yang masih
belajar memegang komitmen. Aku tidak tahu ingin menyebutnya apa.
Tak mudah memang merubah sikap yang menahun mengukungmu.
Bukan dalam hitungan satu atau dua tahun, ini lebih dari itu. Berkutat dengan segala janji, pada akhirnya,
aku memilih ingkar kembali. Tak perlu mengingatkanku soal konsekuensi, sebab
aku sudah tahu jawabannya.
Februari ialah bulan kedua. Semua juga tahu itu. Tetapi
menurutku ini bukan hanya perkara hitungan waktu. Ialah bulan kedua aku
berjalan menuju perjalanan yang tumben saja aku seriusi. Sedikit tanpa arah,
tak masalah. Bukankah hidup perlu proses yang panjang hingga akhirnya kamu pun
matang?
Melintasi hari layaknya seorang pesakitan, ini akan menjadi
palu godam selama setahun. Hawa untuk berjuang itu datang kembali. Sudah berapa
lama aku menghindar? Bila kemarin terbuai mimpi, inilah saatnya untuk bangkit
kembali.
Tentang Februari…
Waktunya untuk menghadapi dengan serius. Hingga aku lupa
perihal waktu yang cepat sekali berputar. Tahu-tahu saja ini sudah penghujung
bulan. Adakah ruang bagiku untuk bernapas lepas? Aku tidak yakin. Tidak sebebas
Januari kemarin.
Tetapi satu hal yang berkesan, tentang februari.
Bukan tentang dia yang secara misterius datang menyapaku. Ini tentang sesal yang tak bisa terulang. Memang, adakah ruang bagi sesal untuk memperbaiki apa yang telah berlalu? Sebuah pelajaran yang mahal, bukan? Tidak, sesal saja tak cukup membawamu kembali. Karena nyatanya, kamu memang tak akan pernah bisa kembali. Sekali lagi, selamat merutuki salah satu kebodohanmu.
Komentar
Posting Komentar