Langsung ke konten utama

Catatan Hati Pada Sepintas Takdir


Photo by Ylanite Koppens from Pexels


Teruntuk,
Bapak, Ibu, Mas-mas, dan Mbak-Mbak sekalian…


Sungguh, dimanapun kita berjumpa, ada sebuah tanya menggantung yang saya simpan rapat. Tetapi untuk saat ini saya berubah pikiran. Tanya itu tak lagi saya simpan dalam ruang hati, sebab sebuah kejadian berulang menyapa saya beberapa kali.

Agaknya saya termasuk sekumpulan orang yang terkadang mempertanyakan letak keadilan di dunia ini. Bukan perkara telah diperlakukan semena-mena dalam artian sebenarnya. Ini hanyalah bentuk lainnya yang dialami sepihak saja, sebut saja saya.

Ketika saya mengalami perang batin antara harus menjaga perasaan atau mengatakan yang sebenarnya, justru hal tersebut tak sepenuhnya saya dapatkan atau berimbas balik pada saya.

Mengapa?
Apakah ada tindakan salah yang tercermin dalam perilaku saya?
Ataukah raut kebingungan yang terbaca jelas di wajah saya?

Seringkali, kemanapun kaki ini melangkah, yang bisa saya lakukan adalah menegarkan diri sendiri atas ketidaknyamanan yang dialami. Sungguh, bila saja saya diberi kesempatan untuk terbuka tanpa mematuhi norma, saya ingin memberontak. Layaknya domba berbulu serigala. Eh, bukan. Domba yang menyembunyikan serigala dibalik tubuhnya. Tunggu, memang bisa? Ah, sepertinya dalam perumpamaanpun saya masih harus belajar. Ya begitulah.

Oke. Kembali lagi pada apa yang mendasari tulisan ini muncul.

Mengapa tak saya lakukan seketika?
Saya masih cukup waras untuk tidak bertindak layaknya orang hilang akal. Yah… walaupun ketika menuliskan kalimat sebelum ini saya cukup meragukannya. Sebab pada beberapa kesempatan bisa jadi itu hanya isapan jempol semata. Nyatanya, tingkah saya bisa saja diluar dugaan untuk meruntuhkan pencitraan 'kalem' yang ingin ditampakkan.

Baiklah, tak perlu membahas lebih dalam mengenai saya. Setidaknya untuk saat ini. Sebab kita mas, maupun mbak, serta ibu juga bapak hanyalah dua orang asing yang kebetulan bersinggungan karena suatu kebutuhan. Iya, kita sama-sama butuh. Saya membutuhkan jasa mas, mbak, bapak, ibu sekalian, begitupun sebaliknya. Untuk tercapainya tujuan kita masing-masing.

Ah… takdir terkadang memang seromantis itu. Namun sayangnya persoalan ini jauh dari kata romantis. Ini tentang kita yang tengah berada dalam satu babak. Ini tentang ketidakadilan yang saya pertanyakan itu.

Tak masalah sebenarnya bagaimana cara yang dilakukan untuk sekadar menyapa saya. Dengan senyuman ramah, lalu sebuah sapaan seperti selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam, juga ucapan selamat datang. Lantas dilanjut dengan menawarkan bantuan yang saya butuhkan. Bahkan sebelum saya menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan. Tentu saja lengkap dengan senyuman yang masih erat menggantung pada paras rupawan itu.

Sesaat saya terkesima dengan karya Tuhan yang mengagumkan pada makhlukNya. Bahkan sepersekian detik saya berpikir bahwa dunia ini tidak hanya dipenuhi oleh orang-orang sinting yang rela melakukan segala hal agar keberadaannya dianggap. Masih banyak orang baik di dunia yang kejam ini. Termasuk anda, salah satunya. Sungguh, saya hanya bisa memendam kagum dalam detik itu.  

Tetapi hanya sementara saja. Sebab didetik selanjutnya, ibarat dihempaskan sejatuh-jatuhnya ke bumi setelah diterbangkan tinggi sekali. Masih tiada perubahan dari wajah yang menyapa itu. Satu-satunya yang berbeda hanyalah otot di wajah saya yang membentuk ekspresi sedemikian rupa. Bengong tak terkontrol. Bukan lagi karena kagum. Sebab sebuah sapa yang dialamatkan untuk saya, tak sesuai kenyataannya.

Selamat pagi, adakah yang bisa saya bantu, Bu?

Itulah sapamu kala itu. Lalu dengan lancangnya, sebuah tanya menggelayut manja pada pemikiran saya.

Adakah saya terlihat menua hanya dalam beberapa jam?
Atau
Apakah kaca di rumah saya telah menipu sehingga saya terlihat seolah paling cantik di sana, dalam pantulan itu?

Speechless? Sudah pasti. Tetapi saya mencoba untuk berpikir positif dan tidak berpikir macam-macam. Mencoba memahami walau batin masih belum rela. Bisa saja mas, mbak, bapak dan ibu sekalian hanya menerapkan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang berlaku. Bisa saja itu hanya sapaan sopan yang diberlakukan pada setiap wanita yang dilayani. Berapapun usianya.

Ya, pada akhirnya saya mencoba untuk memakluminya. Menganggap hal itu adalah biasa.

Namun hal lain terjadi secara tak terduga. Ketika saya beranjak, sedang mas, mbak, bapak atau ibu menyapa wanita lain di belakang saya yang penampilannya lebih mentereng. Seperti dandanan hendak berpesta. Dengan kadar bedak yang lebih tebal yang saya saja masih bingung menggunakan apa. Dengan gincu merah merona. Dengan rambut yang ditata sedemikan rupa. Juga baju yang menampilkan kesan modis pada pemakainya. Sulit untukku menerka status yang dimilikinya atau angka berapa yang sudah dijalaninya sejauh ini. Sebab ia terlihat lebih dewasa. Berbeda jauh dengan saya yang totally terlihat kusam. Tak ada yang menarik bila dilihat secara fisik. Sungguh.

Tak perlu disadarkan, saya sudah sepenuhnya sadar. Namun yang menjadikan perasaan saya semakin retak tak karuan ialah cara mas, mbak, bapak dan ibu sekalian dalam memperlakukannya. Masih dengan cara yang sama, namun dengan sentuhan berbeda.

Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, mbak?




PRAAANNGGG….

Sungguh, itu bukanlah suara kaca jendela yang saya pecahkan. Mungkin itulah serpihan takdir yang pecah dan harus saya terima apa adanya. Tidak boleh memaki. Tidak boleh berkata kasar. Tidak boleh ngatain. Ya Allah… kenapa pengen dimaki banget sih itu orang???

Ah, lupakan soal mbak-mbak tadi.

Hal lain juga tidak jauh berbeda. Masih dengan pola yang sama. Dengan saya yang masih saja dipanggil ibu. Bahkan ada yang berani bertanya hingga menebak status saya dalam rumah tangga sebelum diberi jawaban sebenarnya. Terkaan yang sangat-sangat sadis.

‘Apakah ibu orang tuanya?’
‘Anaknya ya, Bu?’

Sedangkan tidak demikian halnya terjadi pada seseorang yang jelas-jelas pantas mendapat pertanyaan tersebut. Salah seorang, yang sangat berarti dalam hidup saya. Kepadanyalah panggilan mbak dan sejenisnya diujarkan. Panggilan yang saya harapkan menjadi sapaan yang pantas untuk saya. Emak saya sendiri.

Ya Allah…. Gusti….

Apa salah dan dosaku sayang?

Sekarang saya pertanyakan kembali kepada mas, mbak, bapak, dan ibu sekalian,

Apakah saya harus berdandan agar bisa disapa ‘Mbak’? 

Atau 
saya perlu untuk sedikit memberontak dan mengeluarkan segala uneg-uneg mengenai ketidakadilan ini? 

Atau… 
bagaimana bila saya balas dengan cara serupa pula?

Ah, balas dendam bukanlah jalan keluar yang baik. Baiklah, sepertinya opsi pertama lebih manusiawi. Tolong belikan saja saya alat make up dan lainnya untuk mengupgrade diri. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf mas, mbak, bapak dan ibu sekalian setelah menanggapi cerita saya. Sebab untuk tampil menarik perlu biaya juga, kan?


Photo by kinkate from Pexels


Tertanda,
Saya, yang sekali lagi menahan jengkel setengah mati


Komentar

  1. Wkwkwk aku jugaašŸ¤£ šŸ¤­ siapa tau mungkin dari cara bicara kita atau pandangan kita yang terlihat lebih bijak ketika awal bertemu (baca: belum kenal baik)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm... bisa jadi bisa jadi. Masalahnya aku belum ngomong apapun lho

      Hapus

Posting Komentar