Berhubung udah terlanjur buka blog, jadi daripada nganggur mending diisi aja. Iya kan?
Jadi, postingan kali ini, isinya tentang... Bagaimana kalo cerpen?
Sebagai pembukaan, cerpen ini adalah cerpen kesekian sekaligus jadi cerpen keenam yang berhasil aku tuntaskan dalam dokumen pribadi. Maklum aja, cerpen lainnya masih dalam proses. Entah kapan kelarnya.
Anyway, Cerpen ini juga sekaligus jadi cerpen pemecah rekor dalam hidupku sejauh ini. Percaya gak, kalau hanya perlu waktu 2 jam untuk pengerjaannya? Padahal sebelumnya, gak pernah tuh nulis cerpen selama 2 jam kelar semuanya. Paling banter, 2 jam itu baru dapet satu paragraf.
Tapi gak tau kenapa, waktu menuliskan ini berasa ajaib banget. Sepertinya semesta mendukung. Dalam waktu 2 jam, kelar dari mikirin jalan cerita hingga menuliskannya. Tapi ya... berhubung hanya 2 jam, rasanya masih kurang maksimal deh, karena minus editing.
Ada yang penasaran seperti apa penampakkannya? Ya sudah, selamat membaca.
Nina berjalan melewati koridor sekolahnya. Pandangan matanya menjelajah kelas-kelas yang dilaluinya. Dilihatnya, sekumpulan siswa tengah mempersiapkan lomba untuk menyambut hari Sumpah Pemuda.
Tetapi langkahnya terhenti, ketika ia melihat seseorang hanya duduk termenung di depan kelasnya. Wajahnya tampak seperti tidak semangat untuk mengikuti lomba itu. Nina sempat ragu untuk mendekatinya. Namun, karena keingintahuannya, ia pun memutuskan untuk menghampiri sosok itu.
“Kamu gak ikut teman-teman yang lain untuk mempersiapkan lomba?”
Sosok itu menoleh ke arah Nina. Ia hanya diam dan memandang Nina lama. Tatapan itu membuat Nina salah tingkah. Diam-diam, ia menyesali pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Tidak tau apa yang harus dilakukan, Nina hanya bisa menunduk sembari mencengkeram dengan kuat ujung bajunya itu.
Sosok itupun akhirnya mengalihkan pandangannya menatap lapangan hijau yang terhampar di depan indera penglihatannya itu. Ia tidak menjawab sama sekali pertanyaan Nina. Nina tau bahwa sosok itu tidak lagi menatap kearahnya. Sekarang ia memiliki pilihan untuk sesegera mungkin menyingkir dari sosok itu.
Tetapi, kakinya terasa sulit untuk beranjak dari sana. Rasa penasarannya kembali memuncak hingga ubun-ubunnya. Entah apa yang membuatnya mendekati sosok itu. Kakinya seperti bergerak sendiri di bawah kendalinya.
Nina pun memutuskan untuk duduk disamping sosok itu. Diperhatikannya sekilas. Namun, sosok itu tetap bergeming. Tidak melakukan gerakan apapun. Tatapan matanya begitu lurus dan tajam. “Kamu gak ikut teman-teman yang lain untuk mempersiapkan lomba?” tanyanya sekali lagi.
Kali ini, sosok itu menghembuskan napas beratnya. Ia kembali memandang Nina sebelum akhirnya berbicara. “Untuk apa aku harus membantu mereka jika semua yang aku kerjakan tidak bernilai sedikitpun bagi mereka?”
Nina hanya bisa diam untuk sementara waktu. Jelas sekali jika sosok yang kini duduk disampingnya itu terlihat kesal, atau mungkin tepatnya ia marah. Kembali, sosok itu memandang lurus ke lapangan. “Kamu gak boleh berpikiran seperti itu. Belum tentu usahamu itu tidak bernilai. Mungkin mereka merasa kurang cocok dengan apa yang kamu kerjakan itu,” ujar Nina sesantai mungkin. Ia takut jika sosok yang disampingnya kini makin tak terkendali amarahnya.
“Terus, apa bedanya kalau seperti itu? Bagaimana kelas mau bersatu jika mereka tidak mau mendengar usulan bahkan dari orang yang tidak berpengaruh di kelas sekalipun?” ucapnya masih dengan nada yang sama.
Nina semakin tak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan sosok yang berada di sampingnya ini. Tetapi entah mengapa, ia merasa bahwa pembicaraan ini semakin lama, makin menarik. Sosok itu menatapnya tajam, menunggu jawaban dari Nina.
“Apa maksudmu?”
Pertanyaan yang singkat. Namun cukup membuat sosok itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sosok itu kemudian memejamkan matanya untuk meredam kekesalannya yang makin memuncak. Dihembuskannya napas berat, seolah napas itu akan membawa pergi semua masalah dan beban pikirannya itu. Sosok itu kembali membuka mata dan memandang Nina. Tidak seketus saat ia tengah dalam puncak emosinya. Sementara itu Nina masih menunggu jawabannya.
“Kamu tau bukan ini lomba untuk memperingati hari Sumpah Pemuda?” tanya sosok itu dengan hati-hati kepada Nina. Kali ini dengan nada yang sedikit merendah. Nina hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ia masih belum mendapatkan petunjuk kemana arah pembicaraan ini.
“Kamu tau kan inti dari sumpah pemuda yaitu bahwa para pemuda dan pemudi Indonesia sama-sama mengakui bahwa mereka memiliki satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia?”
Nina hanya bisa menganggukkan kepalanya sekali lagi terhadap pertanyaan dari sosok itu. Sosok itu menarik napasnya sebentar kemudian menghembuskannya. Kemudian mulai berujar lagi. “Mereka itu memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghias kelas ini. Dan kamu tau? Seharusnya mereka membuat hiasan kata-kata motivasi dalam bahasa Indonesia bukan bahasa asing.”
Nina semakin mengerutkan dahinya. Bingung dengan maksud sosok ini. Sementara itu, sosok yang disampingnya menangkap kebingungan dari gadis yang berada disebelahnya ini. Tetapi ia lebih memilih untuk diam sebelum gadis ini bersuara terlebih dahulu.
“Lalu apa masalahnya? Itukan hanya kata-kata motivasi yang ditulis dalam bahasa asing. Hitung-hitung mereka menambah wawasan mereka dalam berbahasa asing. Supaya lebih mudah berbicara dalam bahasa asing,” ucap Nina panjang lebar.
Sosok itu hanya tersenyum mendengar jawabannya itu. Namun senyuman itu semakin membuat Nina bertambah bingung. Sosok itu sungguh misterius untuk Nina. Sudah sepuluh menit mereka berbicara tetapi Nina masih belum menangkap arah pembicaraan. Benar-benar sosok yang susah ditebak.
Seharusnya ia memilih membiarkan sosok itu untuk melamunkan masalahnya sendiri. Seharusnya ia tidak berbicara dengannya. Seharusnya ia segera beranjak pergi ketika sosok itu sudah memalingkan tatapannya. Seharusnya, seharusnya, seharusnya….
Kini ia semakin bingung dengan sosok itu. Itu salahnya, mengapa ia sendiri yang memutuskan untuk berbicara dengan sosok itu. Ia mengakui dalam hatinya bahwa pembicaraan ini memang menarik. Namun pembicaraan ini juga membuatnya semakin pusing. Seperti terjebak dalam labirin yang tidak memiliki jalan keluar.
“Kamu sama seperti yang lainnya,” ucap sosok itu kemudian. Masih dengan kerutan dahi di wajahnya, ia bingung dengan pernyataan sosok disampingnya itu. “Sama apanya? Apa yang membuatku sama dengan mereka?” jawabnya dengan nada suara yang mulai meninggi.
Lagi, sosok itu hanya tersenyum kepadanya. Dialihkannya tatapannya ke lapangan luas yang hijau itu. Kembali menarik dan menghembuskan napasnya. Tetapi Nina tidak demikian. Matanya masih menatap sosok itu dengan tajam. Ia merasa gerah dengan semua ini. Sekalipun udara sore berhembus dengan sejuk menerpa wajahnya.
“Mereka juga berpikiran seperti itu,” ujar sosok itu memecah keheningan diantara ia dan Nina. “Aku tidak sama seperti mereka yang kamu bilang itu,” ujar Nina dengan emosi yang memuncak. Ia mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan meninggalkan sosok itu. “Tunggu, kita belum selesai bicara,” sahut sosok itu.
Nina tidak peduli lagi. Ia tetap berjalan tanpa mengindahkan panggilan itu. Tanpa ia sadari, sosok itu berlari mengejarnya. Ia memegang lengan Nina agar mau menghentikan langkahnya. Langkah Nina memang terhenti. Tetapi tidak dengan emosinya. “Apakah orang tuamu mengajarkan untuk meninggalkan orang yang belum selesai bicara padamu?” tanya sosok itu hati-hati.
“Berhenti membicarakan orang tua. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan pembicaraan kita. Aku yang menginginkan pembicaraan ini agar berhenti. Karena berbicara denganmu sama saja dengan berbicara pada tembok,” ujar Nina dengan kasar. Ia tidak peduli lagi bagaimana dengan perasaan sosok itu akibat ucapannya barusan.
“Kamu sendiri yang memulai pembicaraan itu. Ayo kita selesaikan,” ucap sosok itu sembari menggandeng lengan Nina. Namun Nina menepis gandengan itu. “Percuma, aku hanya membuang waktu denganmu. Lebih baik aku membantu teman di kelasku untuk menghias kelas,” ujar Nina, masih dengan nada yang sama.
Sosok itu tidak kehilangan akal. Ia tidak ingin pembicaraan itu berakhir tanpa akhir yang jelas. “Kalau begitu, kamu hanya cukup mendengarkanku bercerita saja.” Sayangnya Nina semakin menjauh meninggalkannya. “Aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku,” ucap sosok itu sekali lagi. Langkah Nina terhenti. Ia hanya bisa memejamkan matanya sembari meredam emosinya sebelum semakin tak terkendali. Ia juga menghembuskan napas beratnya sebelum berbalik dan berbicara dengan
“Baiklah, kalau begitu langsung saja kamu berbicara ke inti persoalan,” pinta Nina sebelum akhirnya berjalan mendekati sosok itu. Sosok itu menghembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya. “Oke, kita akan berbicara masalahnya. Tapi lebih baik, kamu duduk dulu,” ucapnya kemudian.
Nina pun berjalan mendekati sosok itu dan kembali duduk disampingnya. “Terus, kenapa kamu bilang aku sama saja seperti mereka yang membuatmu marah?” tanya Nina ketus. Sosok itu tidak berani menatap Nina lebih dalam. “Mereka juga berkata bahwa ini hanyalah lomba menghias kelas untuk memperingati hari Sumpah Pemuda. Jadi tidak masalah bagi mereka untuk menggunakan bahasa asing untuk menulis kata-kata motivasi. Tetapi bagiku lomba ini tidak sekedar untuk memperingati tetapi juga untuk mendapatkan makna yang tersembunyi dari lomba itu.”
Ucapan itu membuat kerutan di dahi Nina semakin dalam. Tetapi ia sudah tidak seemosi saat awal pembicaraan. Ia mulai memahami bagaimana cara untuk menghadapi pembicaraan dengan sosok disampingnya ini. “Lalu, makna apa yang kamu dapatkan dari lomba ini?” tanya Nina lebih tenang. Sosok itu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara kembali. “Dari penggunaan bahasa, itu sudah jauh sekali dengan makna lomba. Seharusnya kita menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat kata-kata motivasi. Bukan bahasa asing. Karena lomba ini mengajarkan kita untuk lebih mencintai bahasa persatuan kita. Tidak peduli bagaimana pengaruh jaman akan menggerus keberadaan bahasa kita dan membuat bahasa asing lebih penting dari bahasa persatuan kita.”
Sosok itu terlihat menghembuskan napas beratnya sebelum akhirnya berbicara lagi. “Yang kedua. Kita memiliki bangsa yang satu. Seharusnya kita tetap utuh untuk menghadapi situasi apapun. Tidak dengan jalan sendiri-sendiri seperti ini. Tetapi hal inilah yang tidak dimengerti teman-temanku. Mereka hanya sekedar mengikuti perlombaan ini tanpa mengetahui maknanya. Kalau bukan kita yang memaknai sumpah pemuda ini, siapa lagi? Bukankah kita adalah generasi penerus bangsa yang sudah semestinya untuk menjaga persatuan, dan kesatuan bangsa?”
Akhirnya Nina paham dengan arah pembicaraan sosok ini. Ia hanya menginginkan makna lomba ini daripada predikat sebagai kelas terindah dalam lomba menghias kelas. Ia tidak menginginkan hadiah apa yang akan didapatkannya jika ia mendapat gelar itu. “Kamu benar juga, Kita memang generasi penerus bangsa. Memang sudah kewajiban kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Juga menjunjung tinggi bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Apapun kondisinya. Baiklah apakah ada yang mau kamu bicarakan lagi?” ujarnya sambil bangkit dari tempat duduknya.
Sosok itu terlihat berpikir sejenak sebelum kembali membuka mulutnya untuk berbicara. “Mungkin ceritakan juga pada teman kelasmu tentang makna itu, jangan sampai kalian terpecah belah. Kalian harus tetap bersatu apapun kondisinya,” ucap sosok itu panjang lebar. Nina hanya mengangguk mengiyakan ucapan itu. “Oke, Anwar, aku pergi ke kelas dulu. Sampai jumpa,” ucap Nina sambil menjauh.
Sosok itu hanya tersenyum mendengar ucapan Nina. Ia merasa bebannya sudah lega. Sementara itu, Nina memahami bahwa perlombaan ini memiliki makna yang besar. Ia membuat catatan kecil di hatinya agar selalu menjunjung bahasa Indonesia. Karena, jika bukan ia dan generasi penerusnya, siapa lagi yang akan menjunjung tinggi bahasa persatuannya, bahasa Indonesia?
Anyway, Cerpen ini juga sekaligus jadi cerpen pemecah rekor dalam hidupku sejauh ini. Percaya gak, kalau hanya perlu waktu 2 jam untuk pengerjaannya? Padahal sebelumnya, gak pernah tuh nulis cerpen selama 2 jam kelar semuanya. Paling banter, 2 jam itu baru dapet satu paragraf.
Tapi gak tau kenapa, waktu menuliskan ini berasa ajaib banget. Sepertinya semesta mendukung. Dalam waktu 2 jam, kelar dari mikirin jalan cerita hingga menuliskannya. Tapi ya... berhubung hanya 2 jam, rasanya masih kurang maksimal deh, karena minus editing.
Ada yang penasaran seperti apa penampakkannya? Ya sudah, selamat membaca.
PERCAKAPAN DI SUATU SORE
![]() |
Photo by cottonbro from Pexels |
Tetapi langkahnya terhenti, ketika ia melihat seseorang hanya duduk termenung di depan kelasnya. Wajahnya tampak seperti tidak semangat untuk mengikuti lomba itu. Nina sempat ragu untuk mendekatinya. Namun, karena keingintahuannya, ia pun memutuskan untuk menghampiri sosok itu.
“Kamu gak ikut teman-teman yang lain untuk mempersiapkan lomba?”
Sosok itu menoleh ke arah Nina. Ia hanya diam dan memandang Nina lama. Tatapan itu membuat Nina salah tingkah. Diam-diam, ia menyesali pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Tidak tau apa yang harus dilakukan, Nina hanya bisa menunduk sembari mencengkeram dengan kuat ujung bajunya itu.
Sosok itupun akhirnya mengalihkan pandangannya menatap lapangan hijau yang terhampar di depan indera penglihatannya itu. Ia tidak menjawab sama sekali pertanyaan Nina. Nina tau bahwa sosok itu tidak lagi menatap kearahnya. Sekarang ia memiliki pilihan untuk sesegera mungkin menyingkir dari sosok itu.
Tetapi, kakinya terasa sulit untuk beranjak dari sana. Rasa penasarannya kembali memuncak hingga ubun-ubunnya. Entah apa yang membuatnya mendekati sosok itu. Kakinya seperti bergerak sendiri di bawah kendalinya.
Nina pun memutuskan untuk duduk disamping sosok itu. Diperhatikannya sekilas. Namun, sosok itu tetap bergeming. Tidak melakukan gerakan apapun. Tatapan matanya begitu lurus dan tajam. “Kamu gak ikut teman-teman yang lain untuk mempersiapkan lomba?” tanyanya sekali lagi.
Kali ini, sosok itu menghembuskan napas beratnya. Ia kembali memandang Nina sebelum akhirnya berbicara. “Untuk apa aku harus membantu mereka jika semua yang aku kerjakan tidak bernilai sedikitpun bagi mereka?”
Nina hanya bisa diam untuk sementara waktu. Jelas sekali jika sosok yang kini duduk disampingnya itu terlihat kesal, atau mungkin tepatnya ia marah. Kembali, sosok itu memandang lurus ke lapangan. “Kamu gak boleh berpikiran seperti itu. Belum tentu usahamu itu tidak bernilai. Mungkin mereka merasa kurang cocok dengan apa yang kamu kerjakan itu,” ujar Nina sesantai mungkin. Ia takut jika sosok yang disampingnya kini makin tak terkendali amarahnya.
“Terus, apa bedanya kalau seperti itu? Bagaimana kelas mau bersatu jika mereka tidak mau mendengar usulan bahkan dari orang yang tidak berpengaruh di kelas sekalipun?” ucapnya masih dengan nada yang sama.
Nina semakin tak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan sosok yang berada di sampingnya ini. Tetapi entah mengapa, ia merasa bahwa pembicaraan ini semakin lama, makin menarik. Sosok itu menatapnya tajam, menunggu jawaban dari Nina.
“Apa maksudmu?”
Pertanyaan yang singkat. Namun cukup membuat sosok itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sosok itu kemudian memejamkan matanya untuk meredam kekesalannya yang makin memuncak. Dihembuskannya napas berat, seolah napas itu akan membawa pergi semua masalah dan beban pikirannya itu. Sosok itu kembali membuka mata dan memandang Nina. Tidak seketus saat ia tengah dalam puncak emosinya. Sementara itu Nina masih menunggu jawabannya.
“Kamu tau bukan ini lomba untuk memperingati hari Sumpah Pemuda?” tanya sosok itu dengan hati-hati kepada Nina. Kali ini dengan nada yang sedikit merendah. Nina hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ia masih belum mendapatkan petunjuk kemana arah pembicaraan ini.
“Kamu tau kan inti dari sumpah pemuda yaitu bahwa para pemuda dan pemudi Indonesia sama-sama mengakui bahwa mereka memiliki satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia?”
Nina hanya bisa menganggukkan kepalanya sekali lagi terhadap pertanyaan dari sosok itu. Sosok itu menarik napasnya sebentar kemudian menghembuskannya. Kemudian mulai berujar lagi. “Mereka itu memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghias kelas ini. Dan kamu tau? Seharusnya mereka membuat hiasan kata-kata motivasi dalam bahasa Indonesia bukan bahasa asing.”
Nina semakin mengerutkan dahinya. Bingung dengan maksud sosok ini. Sementara itu, sosok yang disampingnya menangkap kebingungan dari gadis yang berada disebelahnya ini. Tetapi ia lebih memilih untuk diam sebelum gadis ini bersuara terlebih dahulu.
“Lalu apa masalahnya? Itukan hanya kata-kata motivasi yang ditulis dalam bahasa asing. Hitung-hitung mereka menambah wawasan mereka dalam berbahasa asing. Supaya lebih mudah berbicara dalam bahasa asing,” ucap Nina panjang lebar.
Sosok itu hanya tersenyum mendengar jawabannya itu. Namun senyuman itu semakin membuat Nina bertambah bingung. Sosok itu sungguh misterius untuk Nina. Sudah sepuluh menit mereka berbicara tetapi Nina masih belum menangkap arah pembicaraan. Benar-benar sosok yang susah ditebak.
Seharusnya ia memilih membiarkan sosok itu untuk melamunkan masalahnya sendiri. Seharusnya ia tidak berbicara dengannya. Seharusnya ia segera beranjak pergi ketika sosok itu sudah memalingkan tatapannya. Seharusnya, seharusnya, seharusnya….
Kini ia semakin bingung dengan sosok itu. Itu salahnya, mengapa ia sendiri yang memutuskan untuk berbicara dengan sosok itu. Ia mengakui dalam hatinya bahwa pembicaraan ini memang menarik. Namun pembicaraan ini juga membuatnya semakin pusing. Seperti terjebak dalam labirin yang tidak memiliki jalan keluar.
“Kamu sama seperti yang lainnya,” ucap sosok itu kemudian. Masih dengan kerutan dahi di wajahnya, ia bingung dengan pernyataan sosok disampingnya itu. “Sama apanya? Apa yang membuatku sama dengan mereka?” jawabnya dengan nada suara yang mulai meninggi.
Lagi, sosok itu hanya tersenyum kepadanya. Dialihkannya tatapannya ke lapangan luas yang hijau itu. Kembali menarik dan menghembuskan napasnya. Tetapi Nina tidak demikian. Matanya masih menatap sosok itu dengan tajam. Ia merasa gerah dengan semua ini. Sekalipun udara sore berhembus dengan sejuk menerpa wajahnya.
“Mereka juga berpikiran seperti itu,” ujar sosok itu memecah keheningan diantara ia dan Nina. “Aku tidak sama seperti mereka yang kamu bilang itu,” ujar Nina dengan emosi yang memuncak. Ia mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan meninggalkan sosok itu. “Tunggu, kita belum selesai bicara,” sahut sosok itu.
Nina tidak peduli lagi. Ia tetap berjalan tanpa mengindahkan panggilan itu. Tanpa ia sadari, sosok itu berlari mengejarnya. Ia memegang lengan Nina agar mau menghentikan langkahnya. Langkah Nina memang terhenti. Tetapi tidak dengan emosinya. “Apakah orang tuamu mengajarkan untuk meninggalkan orang yang belum selesai bicara padamu?” tanya sosok itu hati-hati.
“Berhenti membicarakan orang tua. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan pembicaraan kita. Aku yang menginginkan pembicaraan ini agar berhenti. Karena berbicara denganmu sama saja dengan berbicara pada tembok,” ujar Nina dengan kasar. Ia tidak peduli lagi bagaimana dengan perasaan sosok itu akibat ucapannya barusan.
“Kamu sendiri yang memulai pembicaraan itu. Ayo kita selesaikan,” ucap sosok itu sembari menggandeng lengan Nina. Namun Nina menepis gandengan itu. “Percuma, aku hanya membuang waktu denganmu. Lebih baik aku membantu teman di kelasku untuk menghias kelas,” ujar Nina, masih dengan nada yang sama.
Sosok itu tidak kehilangan akal. Ia tidak ingin pembicaraan itu berakhir tanpa akhir yang jelas. “Kalau begitu, kamu hanya cukup mendengarkanku bercerita saja.” Sayangnya Nina semakin menjauh meninggalkannya. “Aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku,” ucap sosok itu sekali lagi. Langkah Nina terhenti. Ia hanya bisa memejamkan matanya sembari meredam emosinya sebelum semakin tak terkendali. Ia juga menghembuskan napas beratnya sebelum berbalik dan berbicara dengan
“Baiklah, kalau begitu langsung saja kamu berbicara ke inti persoalan,” pinta Nina sebelum akhirnya berjalan mendekati sosok itu. Sosok itu menghembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya. “Oke, kita akan berbicara masalahnya. Tapi lebih baik, kamu duduk dulu,” ucapnya kemudian.
Nina pun berjalan mendekati sosok itu dan kembali duduk disampingnya. “Terus, kenapa kamu bilang aku sama saja seperti mereka yang membuatmu marah?” tanya Nina ketus. Sosok itu tidak berani menatap Nina lebih dalam. “Mereka juga berkata bahwa ini hanyalah lomba menghias kelas untuk memperingati hari Sumpah Pemuda. Jadi tidak masalah bagi mereka untuk menggunakan bahasa asing untuk menulis kata-kata motivasi. Tetapi bagiku lomba ini tidak sekedar untuk memperingati tetapi juga untuk mendapatkan makna yang tersembunyi dari lomba itu.”
Ucapan itu membuat kerutan di dahi Nina semakin dalam. Tetapi ia sudah tidak seemosi saat awal pembicaraan. Ia mulai memahami bagaimana cara untuk menghadapi pembicaraan dengan sosok disampingnya ini. “Lalu, makna apa yang kamu dapatkan dari lomba ini?” tanya Nina lebih tenang. Sosok itu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara kembali. “Dari penggunaan bahasa, itu sudah jauh sekali dengan makna lomba. Seharusnya kita menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat kata-kata motivasi. Bukan bahasa asing. Karena lomba ini mengajarkan kita untuk lebih mencintai bahasa persatuan kita. Tidak peduli bagaimana pengaruh jaman akan menggerus keberadaan bahasa kita dan membuat bahasa asing lebih penting dari bahasa persatuan kita.”
Sosok itu terlihat menghembuskan napas beratnya sebelum akhirnya berbicara lagi. “Yang kedua. Kita memiliki bangsa yang satu. Seharusnya kita tetap utuh untuk menghadapi situasi apapun. Tidak dengan jalan sendiri-sendiri seperti ini. Tetapi hal inilah yang tidak dimengerti teman-temanku. Mereka hanya sekedar mengikuti perlombaan ini tanpa mengetahui maknanya. Kalau bukan kita yang memaknai sumpah pemuda ini, siapa lagi? Bukankah kita adalah generasi penerus bangsa yang sudah semestinya untuk menjaga persatuan, dan kesatuan bangsa?”
Akhirnya Nina paham dengan arah pembicaraan sosok ini. Ia hanya menginginkan makna lomba ini daripada predikat sebagai kelas terindah dalam lomba menghias kelas. Ia tidak menginginkan hadiah apa yang akan didapatkannya jika ia mendapat gelar itu. “Kamu benar juga, Kita memang generasi penerus bangsa. Memang sudah kewajiban kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Juga menjunjung tinggi bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Apapun kondisinya. Baiklah apakah ada yang mau kamu bicarakan lagi?” ujarnya sambil bangkit dari tempat duduknya.
Sosok itu terlihat berpikir sejenak sebelum kembali membuka mulutnya untuk berbicara. “Mungkin ceritakan juga pada teman kelasmu tentang makna itu, jangan sampai kalian terpecah belah. Kalian harus tetap bersatu apapun kondisinya,” ucap sosok itu panjang lebar. Nina hanya mengangguk mengiyakan ucapan itu. “Oke, Anwar, aku pergi ke kelas dulu. Sampai jumpa,” ucap Nina sambil menjauh.
Sosok itu hanya tersenyum mendengar ucapan Nina. Ia merasa bebannya sudah lega. Sementara itu, Nina memahami bahwa perlombaan ini memiliki makna yang besar. Ia membuat catatan kecil di hatinya agar selalu menjunjung bahasa Indonesia. Karena, jika bukan ia dan generasi penerusnya, siapa lagi yang akan menjunjung tinggi bahasa persatuannya, bahasa Indonesia?
Komentar
Posting Komentar