Langsung ke konten utama

Cerita dari Secangkir Espresso


20 Juni 2023,

Malam itu, di suatu sudut cafe, aku masih terdiam menanti kedatangan seseorang. Terakhir kali meninggalkan jejak, dia mengabarkan tengah menuju ke tempat kami janji bertemu.

Eits… ini bukan kencan. Jadi cerita ini akan jauh dari cerita romansa yang diharapkan terjadi. Tapi aku sengaja menandai tanggal ini, sebab ini pertama kalinya aku mengenalnya. Mengenal siapa? Nanti juga akan tahu sendiri.

Tiada kegiatan lain yang aku lakukan saat itu selain mengamati situasi sekitar dan membolak-balik buku menu. Menemukan apa yang sekiranya cocok untuk menemaniku dalam pertemuan kali ini. Hingga orang yang kutunggu tiba, pilihanku jatuh pada secangkir espresso dengan berbagai pertimbangan.

Samar kulihat nampak kerutan pada dahi seorang perempuan yang mencatat pesananku. Mungkin dia merasa ada yang salah, sehingga memastikannya kembali.

Iya, aku baru menyadarinya setelah sebuah pertanyaan terlontar darinya. Meskipun setelahnya ganti aku yang mengernyit. Ah… ternyata selain menguap dan senyuman, kebingungan pun juga menular. Tetapi wajar bila manusia mengalami kebingungan. Semuanya pun mengalaminya. Kecuali kelak, di akhirat.

Kembali tentang pesanan…
Memangnya apa yang salah dari secangkir espresso? Dia tergolong kopi, kan? Dan sependek pengalamanku, secangkir kopi yang dipesan di cafe memang dibiarkan dengan rasa aslinya.

Tatapanku beralih dari buku menu dan perempuan itu, menatap seseorang di hadapanku untuk dimintai pendapat. Wajahnya memang sedikit terkejut, tetapi rautnya berubah sedetik kemudian. Walau di baliknya masih melempar isyarat untuk meyakinkanku terhadap apa yang aku pilih saat itu.

Keputusanku tidak goyah. Aku tetap memilihnya, meskipun masih tampak raut terkejut yang kulihat. Sepertinya ini bukan sesuatu yang baik, atau ini hanya perasaanku saja?

Tapi… sudahlah, tidak ada kesempatan untuk mundur kembali. Pesanan telah dicatat, dan perempuan itu sudah memesankannya untuk diproses. Aku hanya berdiam sembari menenangkan diri, semoga tidak terlalu buruk.

Sesaat setelah kami berdiskusi, pesananku tiba. Kembali aku dibuat terkejut dengan bagaimana rupanya. Dua keping biskuit kecil dan segelas air berwarna bening menemani secangkir espresso yang hampir memenuhi secangkir kecil. Kecil sekali, apa tidak kurang?


Sepertinya lawan bicaraku mengerti kebingunganku. “Itu pahit, lho. Dan kebanyakan orang biasanya lebih memilih latte daripada espresso, terutama perempuan.”

Seberapa pahit?”
“Sepahit kehidupan.”
Apa iya?
“Coba saja,”

Ragu, aku mengambil cangkir kecil itu dan mempersilahkannya mengalir dalam ruang perasaku. Aku tahu kalau kopi memang pahit. Sejauh pengalamanku, kopi hitam tanpa gula yang pernah aku nikmati, pahitnya masih bisa kutolelir. Tetapi kepahitan yang tengah kuteguk itu dua kali lebih pekat dari kopi hitam yang pernah kuseduh. Dia benar. Aku hanya mengernyit getir membiarkannya masuk lebih dalam.

Ya, aku tahu jika secangkir kopi bisa membuatmu terjaga semalaman. Tak heran, banyak cerita yang mungkin ribuan kali dituturkan tentang kopi dan para penuntut ilmu. Secangkir kopi dapat membuatmu berdebar karena efek kafein di dalamnya. Secangkir kopi juga bisa memacu hormon adrenalin yang salah satu dampaknya membuatmu lebih sering bolak-balik ke belakang.

Sejauh yang pernah kualami, efek yang jelas terasa dari segelas kopi adalah memacu adrenalin. Intensitas bolak-balik kamar mandi meningkat setelah mengonsumsinya dibandingkan tidak sama sekali. Sayangnya, segelas kopi belum cukup membuatku terjaga ataupun berdebar.

Tetapi kali itu… pertama kalinya aku merasa berbeda.

Beberapa saat setelah tegukan pertama, ada yang berdebar kencang dalam dadaku. Rasanya seperti kakiku tak lagi menjejak bumi. Kepalaku mungkin sudah menembus langit walau belum sampai lapisan yang ketujuh. Apakah ini suatu pertanda aku jatuh cinta? Sayangnya bukan. Sebab pemicu yang membuatnya hadir tak ada walau gejalanya mirip.

Debaran itu semakin menguat. Hingga ritme nafasku pun lambat laun mengikuti perubahan yang terjadi di dalamnya. Seperti orang yang berlari, bukan mengejar sesuatu yang tak pasti. Tidak dapat dibayangkan bukan bagaimana diskusi berjalan dengan keadaan seperti itu? Bukan karena alotnya pembicaraan yang menimbulkan perdebatan dan berakhir ngos-ngosan.

Lucunya, selintas pemikiran absurd muncul di tengah diskusi yang berjalan mulus itu. Karena debaran kencang yang seperti tiada memiliki akhir kapan dia kembali normal, apa mungkin inikah detik-detik terakhir itu?

Tidak, aku tidak bisa pergi dengan cara seperti ini. Jangan sampai aku mati konyol hanya karena jantungku berdebar begitu kuatnya. Aku baru menghabiskannya seteguk, bahkan belum setengahnya. Akan berat pertanggungjawabanku bila belum habis karena terhitung mubadzir. Ah… ini hanya sebuah alasan yang terlalu halus. Alasan sebenarnya adalah, sayang aja membayar cukup banyak dalam kondisi kanker -alias kantong yang kering- bila tidak dihabiskan. Tidak mungkin pula meminta seseorang untuk menghabiskan minumanku.

Karenanya aku harus bertahan. Kalau bisa, mungkin sampai pertemuan ini berakhir dan segelas espresso itu tandas tanpa sisa. Walau ya… aku harus bisa berkompromi dengan efek yang tumben dirasakan ini.

Setelah beberapa teguk mengalir, barulah aku paham mengapa dua keping biskuit kecil dan segelas air bening menemaninya. Mungkin perempuan yang mencatatkan pesannya khawatir dengan keadaanku. Atau… takut dipersalahkan bila hal yang lebih buruk terjadi padaku. Seperti kasus secangkir kopi sianida yang pernah viral itu. Ah, apa aku perlu menulis semacam wasiat tentang yang terjadi bila hal yang tidak-tidak itu terjadi padaku?

Bukan. Aku tidak mengharapkan hal yang buruk terjadi. Ini hanya sebuah antisipasi. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Hey, benar juga, akhirnya hal ini membuatku selangkah lebih paham dengan maksud kalimat barusan.

Yap… ternyata mereka adalah penetralisir rasa pahit yang akan aku rasakan ketika meneguknya. Apakah ini memang biasa dihidangkan kepada setiap pengunjung yang memesan espresso? Atau, apa ini memang khusus buatku? Aww… apakah mereka peduli padaku yang terlihat sekali awamnya mencoba secangkir espresso? Apakah aku boleh ge-er? Eh… apakah dampak espresso juga bisa menjadikan seseorang sedikit kepedean seperti ini?


Tapi bukan Mega namanya kalau tidak mengeksplor rasa dari apa yang dicobanya. Mungkin rasa espresso yang pekat dengan pahit akan sedikit berkurang bila ada sesuatu yang ditambahkan. Tidak mungkin menambahkan air bening itu. Tidak.

Maka kuputuskan untuk memasukkan sekeping biskuit manis itu, berharap rasa manisnya membaur dengan pahitnya espresso. Sayang, kenyataan tak seindah bayangan. Manisnya biskuit itu seolah tak berarti di antara kepahitannya. Yang ada malah menimbulkan rasa yang semakin tak karuan. Tetapi segelas espresso ini harus habis. Jadi suka tidak suka, nikmati saja selagi masih bernyawa.

Menit demi menit berlalu. Debaran itu masih sama kuatnya. Beberapa kali aku hanya menghela nafas atas rasaku yang semakin melayang dan menenangkan diri terhadap kerusuhan yang kucari-cari sendiri. Aku masih bertahan dengan baik, terlihat kalem di luar, namun gaduh di dalam. Entah berapa lama efek kafein ini akan reda. Satu-satunya yang kunanti adalah segera merebahkan diri agar lebih merasa tenang. Sebab bila panik itu kubiarkan menjalar, sama saja bunuh diri perlahan.

Tetapi pertemuan dengan segelas espresso kali ini membuka beberapa hal yang sempat bias menurut pemahamanku. Tentang efek kopi dan rasanya. Ternyata aku juga belum sekuat itu dengan kopi. Entah karena ini baru percobaan pertama jadi belum kebal, atau memang begitulah bawaannya beberapa kali pun aku mencoba.

Apakah ini membuatku jera untuk bertemu espresso lagi? Aku rasa tidak juga. Meskipun setelahnya, sejak hari itu, aku belum lagi mendekatkan diri dengan segelas kopi. Mungkin aku akan menikmati secangkir lagi dikemudian hari. Entah kapan. Tetapi cukup bagiku untuk mengetahui batasan sampai dimana tubuhku bisa menolelir kafein yang kunikmati.

Agak berlebihan, ya? Biar saja, memang sengaja. 
Ah… jadi begini rasanya.



Komentar