Langsung ke konten utama

Soal Memaafkan...


Eid Mubarak, Yeorobun

Eh, apalah ini? Semacam ada yang aneh dari sapaan di atas. Hmm… semoga belum bikin otak keriting untuk paham ya? Tapi ngertilah ya, maksudnya bagaimana. Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan:

Selamat merayakan Idul Fitri, kengkawan 😄😁

Berhubung masih dalam bulan Syawal yang erat kaitannya dengan suasana lebaran (meskipun hanya terasa di minggu-minggu awal), kayaknya belum lengkap kalau belum saling maaf-maafan. Mohon maaf lahir batin ya, kalau mungkin selama membaca blog ini ada salah penyampaian yang membuat kengkawan sekalian tersungging, tersinggung.

Sebenarnya tiada niatan seperti itu. Tapi, kalau kebetulan begitu, berarti anggap aja lagi apes. Karenanya, silahkan coba lagi. 

Hehehe... Gak deng. Aku beneran minta maaf 😊🙏

Seperti yang sudah-sudah, ada satu hal yang membuatku tergerak untuk menulis di momen lebaran kali ini. Berhubung minta maaf saat momen ini sudah menjadi tradisi —selain pulang kampung pastinya— , sepertinya menarik bila sedikit berbagi di sini. Meskipun, mikirnya udah dari lama. Emang ya, kelamaan mikir malah gak jalan-jalan.

Anyway, sebelum membahas soal maaf memaafkan, siapa yang bisa menjamin selama hidup di dunia, dari lahir sampai mati, manusia gak pernah melakukan kesalahan apalagi sama orang lain?

Sebuah hil yang mustahal kan ya? Eh, kebalik. Hal yang mustahil.

Ada sih pastinya, apapun bentuknya, disadari atau tidak. Sedihnya, kita gak akan tahu seberapa besar kesalahan itu membekas pada orang lain. Kalau kebetulan bikin salahnya sama tipikal orang baik yang santuy atau woles, mungkin cuma dianggap angin lalu kali ya? Apalagi kalau itu cuma kesalahan kecil. 

Hmm… aku jadi paham kenapa kemudian muncul istilah, Tuhan bersama orang-orang yang santuy dan sabar. Mungkin inilah salah satu pemicunya.

Sejujurnya aku agak ragu menulis hal tersebut. Namanya orang kalau sudah disakiti pasti sakit. Aku gak pernah benar-benar tahu seberapa kuat mereka bisa menerima perlakuan yang salah tersebut. Apalagi kalau perlakuan itu gak cuma merugikannya, tapi juga bisa mencelakai dan menyakiti orang terdekatnya. Apakah reaksi yang santuy itu hanya suatu siasat untuk menutupi luka? Bahaya nih kalau kemudian berubah menjadi seorang pendendam.

Sehubungan dengan memberi maaf kepada orang yang salahnya udah keterlaluan, aku jadi teringat sebuah kalimat yang biasa digaungkan orang-orang, mungkin memberi maaf itu mudah, tapi tidak dengan melupakan.

Hmm… sepertinya ini menjadi salah satu kalimat yang meninggalkan misteri karena punya banyak arti. Pertama, dia benar-benar memaafkan. Bisa juga dianggap sama-sama bersih kembali dari kesalahan. Tapi susah untuk kembali percaya atau bahkan tidak mau lagi berhubungan dengan orang tersebut bagaimana pun caranya.

Kedua, dia memaafkan karena keadaaan mengharuskannya. Tetapi jauh dalam hatinya masih menyimpan luka yang membuatnya trauma. Mungkin saja, kalau balas dendam dibolehkan, dia akan membalasnya. Sayangnya dia enggan mengotori tangannya dan memilih Tuhan yang akan membalasnya.

Nah, arti kedua ini yang berat. Karena kurang lebih maknanya begini (setidaknya menurutku), orang itu belum sepenuhnya bisa memaafkan. Kata 'maaf' mungkin baru sampai di lidahnya, bukan hatinya. Sebab masih ada yang memberatkannya. Lalu, apakah ini artinya kita dimaafkan? Wallahualam.


Hasil edit sendiri. Tapi gambar utamanya dari sini


Dipikir-pikir kayaknya balas dendam terparah dari orang-orang yang terlanjur tersakiti adalah kalau tiada kesempatan yang diberikan untuk meminta maaf. Seketika hilang, gak pernah tau kabarnya. Dihubungi kembali juga sulit padahal masih menyimpan kontaknya. Kalau mau mendatangi rumahnya langsung, gak tahu tempatnya. Dengan kata lain, segala akses untuk ketemu dan minta maaf ditutup. Itu artinya, berarti masih punya hutang untuk meminta maaf.

Ngeri juga membayangkan kalau mati bawa hutang yang seperti ini.

Karena itu, melalui tulisan ini, Aku mau minta maaf seikhlas hati kalian menerima. Terutama kalau itu sampai merugikan.

Dan... karena aku tidak mau memiliki hutang untuk memaafkan padahal aku mampu, Insya Allah, aku bebaskan juga dari hutang maaf. Sebab membawa hutang sampai mati itu gak enak. Apalagi kalau perkaranya adalah mempertanggungjawabkan di Hari Akhir. Biarlah itu urusannya antara kamu dan Allah saja. Aku gak mau ikut-ikutan ✌😁✌

Jadi… sudahkah memberi maaf orang-orang yang menyakiti meskipun mereka belum atau bahkan tidak meminta maaf padamu?






Komentar