Langsung ke konten utama

Biarkan Sajalah


Sebelumnya sudah pernah aku tuliskan mengenai kegiatanku sekarang yang lebih banyak berada di rumah kan?

Sejak jarang keluar, praktis aku lebih sering berhadapan dengan layar kaca. Walau jaman sekarang, layar kaca tidak selalu berarti televisi. Setidaknya, menurutku 😁

Tidak, aku tidak banyak menghabiskan waktu untuk menonton tivi karena malas menyaksikan drama. Tahu sendiri kan kalau siaran tivi sekarang banyak dramanya? Eh…tapi kalau drama yang ditayangkan menarik, bolehlah dipikir ulang. 😂


Jadi, hampir sebagian besar waktuku ada di depan laptop. Bukan untuk menyelesaikan tugas ataupun sejumlah target, tetapi menjelajah sebagai penyamaran untuk menunda. Walaupun, gak jelas juga sebenarnya apa yang aku jelajahi itu. Tapi… dari ketidakjelasan itu, ada hal yang masih bisa disyukuri. Salah satunya, bertemu ide untuk menuliskan beberapa pengalaman tentang pertemuan dalam blog ini.

Well, mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi lebih sering dan mengenal macam-macam orang, sampai juga aku pada pemahaman bahwa setiap manusia di dunia ini diciptakan sedemikian unik 😄 dan keunikan itu… gak perlu dipaksakan sih.

Maksudnya gimana?

Dulu, aku sempat berpikir mengenal orang baru adalah suatu hal yang menyenangkan. Alasannya? Karena, jadi merasa punya banyak teman dan banyak yang kenal. Siapa sih yang gak suka dikenal banyak orang? Kan enak, kemana-mana ada yang menyapa, dan gak perlu repot mengenalkan diri lagi. Apalagi kalau kamu punya nama sepanjang rangkaian gerbong kereta atau mereka bertanya soal asal usulmu yang sulit untuk dijelaskan secara ringkas. Setidaknya begitulah yang aku pikirkan. Sebelum kenyataan menyadarkan bahwa jadi terkenal tuh banyak gak enaknya. 

Sampai sekarang, ternyata aku masih suka ketemu orang baru dan berkenalan dengan mereka. Hanya saja, aku mengakui, ada beberapa hal yang rasanya tidak se-excited dulu.

Meskipun mengaku mudah untuk bergaul dengan orang baru, ternyata ada juga momen dimana aku merasa kesulitan untuk membangun pembicaraan dengan lawan bicaraku. Terutama kalau tau lawan bicara anti basa-basi. Hal yang sangat wajar terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Makin kesini juga makin sulit rasanya untuk menjalin pertemanan dengan orang yang cocok dengan kita, terutama bila ini adalah orang baru. Masih jadi misteri kenapa sesulit itu. Apa....karena beda background? Kalau dipikir lagi wajar juga sih, mengingat kita tumbuh di lingkungan dan kondisi yang berbeda. Tentu saja, kan pembentukan kepribadiannya jadi berbeda? Beda cara berpikir, beda ketertarikan, dan beda budaya. Ah… satu lagi mungkin (?), beda kepentingan. 😁

Kalau diminta untuk mendeskripsikan, aku bukan tipikel yang rumit dalam berteman. Aku bisa saja mengimbangi lawan bicaraku bagaimanapun mereka ibarat cermin. Maksudnya, kalau orang yang kutemui adalah orang yang terbuka, aku bisa saja menjadi lebih terbuka dengan mereka. Kalau yang kutemui tipikel yang serius, aku pun mengikuti. Kalau mereka tipe yang gak asik diajak ngobrol, aku… menghilang aja kali ya? 😅

Sayangnya, karena banyaknya pola interaksi yang aku temui, deskripsi di atas agaknya sedikit tidak relevan lagi. Most of the time, I ended up thinking what kind of person I am in this interaction, especially when they asked me to describing myself. Jadi, karena tidak ada jawaban yang pasti, biar saja mereka yang mengartikannya hanya dari interaksi yang kami lakukan. Toh, bukankah mereka yang lebih perlu mengetahui jawabannya dibanding aku? Bagaimanapun pandangan mereka, tidak akan memengaruhi bagaimana karakterku sih, sesering apapun aku memikirkannya. 


Dalam pertemuan random itu, didukung dengan informasi yang kudapatkan setelah membaca profil mereka sekilas, ada banyak karakter unik yang aku jumpai. Ada yang memang asik untuk diajak ngobrol (antara deskripsi diprofil dan pembawaannya memang sesuai). Ada yang tipikel pasif dan menunggu lawan bicaranya untuk mengeluarkan bahan obrolan meskipun dia yang memulai untuk menyapa di awal. Ada yang hanya sekadar mencari teman ngobrol untuk mengatasi kegabutan mereka dan ditinggal selama-lamanya setelah kebosanan mereka pergi. Ada yang mencari teman ngobrol dengan modus tertentu, terutama untuk kesenangan dan kepuasannya pribadi. Ya...walaupun ketika gak mendapatkannya they becoming rude. Bahkan, ada juga yang kutemui baru 3 menit bicara sudah mengaku jatuh cinta hingga bermimpi untuk menikahi. Yang terakhir sih sepertinya lumayan sering. 😅

Eh…. tapi memang berapa lama sih yang diperlukan seseorang untuk bisa jatuh cinta? Apa iya bisa sesingkat itu? 😕💭

Meskipun aku kenalan dengan banyak orang, atau bahkan berbicara dengan mereka dalam satu waktu, obrolan itu banyak yang gak bertahan lama. Ada saatnya obrolan itu terhenti, entah untuk sementara ataupun selamanya. Apalagi kalau itu terhenti dengan mereka yang sudah akrab dan berteman dalam bilangan tahun. Merasa kehilangan, iya. Tapi gak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan mereka lagi.

Mungkin bila ini terjadi beberapa tahun yang lalu, I’ll put all the blame on myself and would be too much overthinking about something that’s not even my mistake. This is beyond my control and it happened right away. I even don’t know why. Keuntungannya, dari mereka, aku jadi memperbaiki diriku lebih baik lagi dari sebelumnya. Tapi sekali lagi, kalau ini terjadi beberapa tahun yang lalu.

Kalau sekarang, sudah tidak begitu sensitif lagi dengan hal ini. Mungkin karena sudah terlatih tersakiti kali ya? Padahal masih belum seberapa. Bisa dikatakan aku sudah bisa mulai merasa cuek terhadap hal-hal yang gak perlu. Meskipun adakalanya masih suka kepikiran sih, sedikit 😁. Karena… rasanya percuma untuk put too much effort, terutama untuk yang sifatnya sementara. Buang-buang tenaga.

Kenapa mesti berjuang sendiri untuk menghidupkan pembicaraan? Sedang mereka saja belum tentu melakukan hal serupa. Mereka saja cenderung seenaknya tanpa sempat berpikir apakah ini pantas untuk dikatakan atau tidak (mungkin?). Yang lebih parah, mereka saja belum tentu berniat untuk mengenalmu lebih dalam hanya dari pembicaraan singkat. Apalagi yang tujuannya seeking for pleasure semata. Bisa saja kan?

Jadi? 

Gambar ini dari sini nih....

Ya, biar saja.

Tak perlu dipaksakan terlalu jauh untuk menjadikannya hidup. Biar saja percakapan-percakapan itu mengalir hingga dia menemui pangkal kemana harus berakhir. Ada saatnya kita akan mengerti mana yang hanya sekadar singgah, dan mana yang memang berniat untuk menjadikannya long-lasting. Karena menurutku, untuk membangun suatu hubungan bahkan seringan mencari teman ngobrol, mutual understanding it’s a must. Kalau ini aja terabaikan, wajar kalau gak bakalan bertahan lama.

Ada kalanya ketika hati salah menjatuhkan dugaannya. Saat dimana kita merasa menemukan teman yang cocok, sayangnya belum tentu dia berpikir serupa. Dia menghilang, dan kita gak tahu bagaimana cara kembali untuk menghubunginya. Dan, kalau memulai lagi pembicaraan, rasanya akan kembali awkward. Iya juga sih, orang mudah datang dan pergi. Lagipula berhubungan dengan manusia, pasti ada saja kecewanya, kan?       

Ya, mungkin lebih baik biar saja itu berjalan apa adanya. Mungkin memang tidak perlu memaksakan diri membuat percakapan itu hidup lebih lama. Lagipula, sekadar punya teman basa-basi untuk membunuh waktu bosan ada gunanya juga kan? Terutama untuk kamu, yang kelebihan energi untuk berbicara atau yang memang butuh untuk menghilangkan kesepian yang mendera.


Komentar