Langsung ke konten utama

T.A.R.A.W.I.H (juga uneg-unegnya)


Kurang lebih sudah hampir di penghujung Ramadan dilalui. Apa kabar puasanya?
Masih aman?
Bagaimana dengan target ibadah lainnya?

Bagaimanapun juga, semoga Allah memberi kemudahan dalam menjalankan ibadah di sisa waktu ini 😊.

Ngomong-ngomong soal target, sebenarnya aku tak punya target khusus untuk Ramadan sekarang selain untuk bisa lebih konsisten. Baik dalam menjalankan rutinitas ibadah seperti sebelum pandemi melanda ataupun membentuk kebiasaan baru (biar hidup gak gini-gini amat) 😅.

Tapi jadi konsisten emang gak pernah mudah yak? Pantas saja masih banyak orang yang membahas hal ini. Konsisten untuk bisa hidup teratur saja susah, apalagi konsisten dalam ibadah. Ada aja kadang alasan untuk gak konsisten. Entah karena ada hal yang memang gak bisa ditunda, atau kendala yang suka dibuat-buat. Apalagi kemudian mencari pembenaran untuk berlindung dari keteledoran. Huftt, dasar aku 😑.

Anyway, tulisan ini bukan bermaksud untuk membahas soal konsistensi, karena aku yakin, selain untuk aku, itu pun juga masih jadi tugas rumah alias pe-er (PR) untuk yang lainnya.

Jadi pada suatu siang, ada bahasan menarik tentang shalat tarawih, yakni shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat isya dan hanya dilaksanakan selama Ramadan. Nah, kalau dihubungkan sama bahasan awal soal konsisten, masih nyambung sih. Walaupun sedikit 😁. Karena bisa konsisten menjalankan tarawih setiap malam itu menurutku super. Selain godaannya banyak, malam merupakan waktu yang ideal untuk beristirahat.

Kalau mengikuti ambisi yang ingin menjalankan Ramadan dengan sebaik-baiknya, maunya setiap malam full menjalankan tarawih. Karena selain langka, lumayan juga bonus amalnya untukku yang kebanyakan dosa 😅. Lagipula ketemu Ramadan juga setahun sekali. Belum tentu bisa diberi kesempatan ketemu lagi. Apalagi kalau selama 11 bulan lainnya kebanyakan lalainya.

Hal ini secara gak langsung mengubah perspektifku terhadap mereka yang belum tentu bisa melaksanakan tarawih full sebulan karena alasan tertentu. Ngerti sih, tarawih itu sunnah. Tapi, apa gak sayang banget menyia-nyiakan kesempatan yang baik meskipun ini hanyalah sunnah? 😁. Untungnya, semua itu hanya dalam batin aja sih. Belum sampai terlontar (tapi sekarang kayaknya udah gak lagi deh 😔).

Nah, ada suatu reminder yang seketika menyentak cara pikirku dan membuatku tertampar sendiri karenanya.

Okelah, ada orang yang selama Ramadan Allah mampukan untuk bisa menjalankan tarawih dan ibadah sunnah lainnya. Untuk yang masih dimampukan Allah, selamat karena bisa memperbanyak amalan di bulan yang bisa dibilang banyak ampunannya dan kebaikan di dalamnya. Bukankah beruntungnya orang-orang yang bisa memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya? 😊

Namun, ada juga orang yang memiliki alasan tertentu sehingga terpaksa meninggalkannya. Semisal, bekerja di malam hari, dalam perjalanan jauh, ataupun kondisi tubuh yang lagi tidak optimal untuk menjalankannya.

Dan siapalah manusia yang berhak menghakimi amalan orang lain hanya karena dirinya punya kesempatan itu? Bukankah Allah yang mengatur segala pergerakan semesta bahkan yang paling kecil sekalipun, termasuk apa yang kita lakukan? Bukankah Allah yang memberikan kemampuan berbeda untuk setiap hambaNya? Bukankah Allah maha mengetahui apa yang dikerjakan hambaNya termasuk apa yang ada dalam hatinya?

Bisa jadi, mereka yang bekerja di malam hari untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya memiliki kebaikan yang lebih baik. Bisa jadi mereka yang berada dalam perjalanan selalu mengingatNya juga diberikan kebaikan oleh Allah. Bisa jadi mereka yang lemah, merindu untuk bisa berkomunikasi denganNya, dan rindu itu disukaiNya sehingga Allah tambahkan kebaikan padanya.

Lalu siapalah manusia yang gak tahu apa-apa untuk memberikan penilaian?

Mungkin… itulah alasannya mengapa soal dosa dan pahala menjadi hak prerogatif Allah, Dialah yang paling berhak menentukan. Ini juga yang mungkin jadi alasan bahwa manusia tidak punya hak memberi penilaian yang menghakimi manusia lain kalau tidak punya ilmunya. I mean, sekadar mengingatkan untuk kebaikan boleh, tetapi jangan lantas menghakiminya kalau tidak mendapatkan respond yang diharapkan. Sebab setelahnya, menjadi urusannya dengan Tuhannya, kan?

Lagipula, apa kabar dengan ibadah kita? Sudahkah baik juga secara kualitasnya sebaik kuantitasnya? 

 

Komentar