Langsung ke konten utama

Hallo, Agustus



Selamat menginjak bulan kedelapan. Selamat datang pada waktunya menuliskan catatan di bulan ini. Oke, ini berlebihan, karena sejatinya aku hanya datang untuk menyapa saja. Tetapi, kembali kuucapkan, Selamat datang bulan kedelapan. Bulan yang sarat dengan aroma kemerdekaan yang menguar di udara pada langit beberapa negara, salah satunya Negeriku. 

Eh… iyakah?

Ah, semoga saja aku tidak salah mengira. Mungkin para pembaca yang budiman, dimanapun kalian berada, bisa membantuku mengingat negeri mana saja yang turut merayakan kemerdekaannya di bulan ini.


Hmmm,

Bicara soal merdeka, bayanganku masih tentang bebas. Padahal, belum kering setahun catatanku tentang kebebasan. Bukankah baru kemarin ditulis? Eh… menunggu setahun kering itu terlalu lama. Tetapi memang belum mengering dalam ingatanku tentang catatan kemarin. Walaupun satu bulan sudah lewat. Ini kenapa ngomongin tulisan kering udah kayak ngomongin jemuran tetangga sebelah sih?


Ngomongin soal Agustus…

Dari jaman masih kecil dulu, tiap kali bulan ini tiba, mesti bakalan banyak pernak-pernik merah putih yang dihias di jalan. Euforianya udah terasa di awal bulan. Padahal peringatannya sendiri di pertengahan bulan. Wajar aja sih, secara ini adalah suatu momentum.


Buat aku pribadi, hal tersebut seperti mengenang kembali betapa sulitnya terlepas dari belenggu penjajahan. Selama sekian ratus tahun dijajah, diperas, dan ditindas. Bahkan sebagai penduduk asli suatu negeri yang tak bisa merasakan kekayaan yang dimiliki negeri sendiri itu rasanya, menyedihkan. Ada yang sampai memilih mati untuk terhindar dari siksaan, ada yang pasrah dan tak berdaya berada dalam tekanan penjajah, ada juga yang memilih bertarung hingga sampai titik darah penghabisan.

 

Tapi, bagaimanapun perjuangan mereka dulu, bukankah seharusnya kita bersyukur atas kenikmatan yang kita rasakan hingga detik ini? And of course… sudah jadi tugas bagi generasi selanjutnya agar kemerdekaan itu tetap bisa dinikmati sampai kapanpun.



Hiyaa… ini berat sih. Serius.

Memang, udah gak jaman lagi mengusir penjajah dengan bambu runcing ataupun perang. Gak tau kapan-kapan bagaimana. Tetapi makin kesini aku sadar, perang yang sebenarnya itu pada hal-hal yang tak terlihat. Musuh yang bersembunyi di balik selimut. Musuh yang menyamar dalam topeng-topeng kebaikan. Musuh yang terlihat innocent, padahal dibaliknya banyak jebakan. Gak kebayang kan, ditengah terlenanya kita dalam memperjuangkan kemerdekaan, secara perlahan warisan kita dirampas dengan muslihat yang sangat-sangat halus. Kalau kita gak pintar-pintar menjaga diri ataupun bersikap waspada, wassalam. Tamatlah sudah.


Kalau dibawa secara personal, aku sendiri sebenarnya masih bingung, yang dimaksud merdeka itu seperti apa. Iya sih, merdeka itu bebas. Yang merdeka mah negeriku. Aku? Entahlah.

Sebab melawan penjajah bernama kemalasan ini lebih sulit dari yang kuduga. Sangat-sangat sulit. Apalagi di masa karantina gini. Habis, kemalasan ini juga menimbulkan kenikmatan tersendiri sih. Contoh, jadi kaum rebahan yang hanya mantengin gadget seharian.

Kalau target ditentukan orang lain, mungkin mudah aja bagiku buat menyelesaikan itu sesegera mungkin. Tapi kalau diri sendiri yang menciptakan target, uh… rentan banget buat molor dan kemudian tertunda lagi dan lagi.


Btw, soal target, mari beri apresiasi pada diri sendiri yang akhirnya bisa memecahkan rekor pencapaian setelah sekian lama tertunda.


Pertama, kalau boleh jujur, beberapa tahun belakangan ini, aku adalah tipikel manusia yang kurang banget gerak atau melakukan olahraga. Entah, semacam beban aja rasanya untuk merasakan payah yang sebenernya belum seberapa itu. Alhasil, badanpun melebar tak karuan pada beberapa bagian. Pas sadar akan hal ini, ‘Duh… kudu olahraga nih, biar kurus. Besok harus bangun pagi buat jogging lah.

Oke.

Tetapi, besokannya….

Masih setia rebahan di kasur. Lupakan soal janji olahraga. Selamat tinggal pada rencana.

Well, karena merencanakan itu berat, mari dicoba dengan rencana kecil dulu. Minimal banget, bikin set harian untuk jalan 1000 langkah. Udah dari berbulan-bulan sih bikin set begini. Tetapi, dalam sebulan paling 3 kali yang memenuhi target lebih dari 1000 langkah.

Tapi….

Bulan Agustus adalah bulan dimana aku melangkah lebih banyak. Emang sih, gak sampe setengah bulan mencapai target. But I was surprised knowing the fact that I can defeat my laziness without any plan (tepatnya dengan sedikit paksaan dari ortu buat jalan pagi).


Kedua, Bikin dokumen pribadi buat melangkah ke jenjang selanjutnya. Ini juga udah tertunda dari beberapa bulan yang lalu sejak kelulusan dan wisudaan. Yang bikin aku malas itu bukan menulisnya. Tetapi membayangkan bagaimana baiknya menceritakan soal diriku sendiri pada orang lain. Rasanya kayak menguliti diri sendiri hidup-hidup. Belum lagi ditambah overthinking yang banyak yuwas-wisunya. Pantesan aja, sampai sekarang masih sendirian. Ups….


But… I already done with this. Setelah meyakinkan diri sendiri untuk keluar dari zona ‘terlalu nyaman yang menyaru dalam rasa malas’. Itupun juga sudah sangat amat mepet, alias kejepit, alias mendekati deadline.

Well, aku gak tau bagaimana cerita tentang aku di bulan depan. Apakah aku bisa bertahan dalam menghadapi kemalasan ini. Atau justru kalah dengan rasa malas itu sendiri. Satu hal yang aku tahu, aku sedang mencoba dan terus berproses.



Terima kasih untuk beberapa terapi yang menghimpit, Agustus.

Komentar