Langsung ke konten utama

Hallo, Juli





Tadinya, aku tak tahu harus berbagi tentang apa di bulan ini. Tak ada tanggal merah di kalender. Tak juga ku tuliskan suatu reminder tentang perayaan apapun pada lingkupku. Juli, adalah hari yang normal. Juli, tak jauh berbeda  dengan empat hari kerja dalam seminggu. Sedang pertanyaan itu terus berputar dalam benakku. 

Apa yang istimewa dari bulan Juli untuk seorang 'aku'? 

Lalu kulihat suatu peramban yang memperingati hari nasional di negaraku. Bahkan, untuk seorang anak kecilpun mendapat suatu hari istimewa. Hari yang menjadi peringatan, untuk menghargai hak yang didapatkan seorang anak. 

Mengingat kata anak-anak, maka kata lain yang terpikir, pada usiaku saat ini adalah kebebasan. Ah... Mungkin karena aku merindukan masa kecilku. Mungkin juga karena aku adalah seorang anak yang memiliki kebebasan pada masanya dulu. Untuk bermain tanpa mengenal waktu, mengatakan apa saja yang terlintas pada benakku seketika, juga bersikap tanpa pernah memahami perasaan orang lain akibat sikapku. Beda halnya dengan sekarang, dimana kebebasan itu berarti tanggung jawab yang baru. 

Sudah bebas dari beban belajar, maka saatnya menerima tanggung jawab untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh. Sudah bebas dalam menyatakan pendapat, maka bertanggung jawab pula untuk memegang ucapan. Sudah bebas untuk menentukan sikap, maka sudah waktunya berani bertanggung jawab terhadap risiko yang menghampiri. 

Makin kesini aku paham bahwa kebebasan yang ideal itu, tak pernah ada dalam kehidupan. Ada harga yang harus dibayarkan nanti. Sebebas apapun, tetap saja ada pengikat yang tak tertulis. Bilapun memaksa kehendak, bukankah, kesulitan adalah kawan sepanjang jalan? 

Ah... Benar juga. Aku juga mencatatkan pada bulan ini perihal salah satu kebebasanku yang lengkap. Tetapi, kembali pada ungkapan di atas, maka euforia tentang kebebasan itu hanyalah fatamorgana. Sebab, tak ada alasan bagiku untuk lari, menghindar, atau bahkan mengelak. 

Tanggung jawab yang baru sudah melambai, mengucapkan selamat datang dan menarikku untuk memasuki dunianya. Dunia, yang masih asing untuk seorang idealis sepertiku. Ah, mengapa justru idealis ini yang mengurung pemikiranku pada dunia yang realistis? Lihat, bagaimana dalam bebaspun aku masih terikat, bukan?

Tetapi, pada akhirnya pertanyaanku di atas pecah juga. Seperti anak-anak itu, aku juga masih mendapatkan catatan istimewa pada bulan ini. Tentu saja.  Sebenarnya, setiap hari pun istimewa bila kita bersyukur dan hidup dalam momentumnya. 

Ngomong-ngomong, langit sore di luar sana melancarkan inspirasi untuk menuliskan catatan ini. Tentang seorang anak dan kebebasannya. Tak peduli, walaupun masih separuh menjalani masa karantina. Tak peduli, walaupun masih terkurung di rumah saja. Tak peduli, tentang kasus yang semakin meningkat dan memeluk keresahan akibat pandemi. Bebas itu masih ada. Lihat saja, langit sore ini yang dihiasi layang-layang.


Selamat meng- zoom in gambar dan menghitung beberapa titik hitam di langit yang biru. Pelukismu Agung, siapa gerangan? Lah...


Btw, titik hitam di langit itu bukan noda hitam pada layar kok. Sayangnya gambar diambil dari jauh. Jadi, hanya bisa dinikmati dalam momentnya. Mungkin enggan berbagi dalam dunia maya kali, ya?


Komentar