Langsung ke konten utama

Hallo, Juni





Sejujurnya, aku tak yakin dapat bercerita dengan baik tentang bulan ini. 

Awal Juni lalu, pada satu titik, aku seolah memahami tentang apa yang mengilhami beberapa artist menjadikan Juni seolah nyawa bagi karyanya. Sapardi dengan Hujan Bulan Juni-nya, dan Roxette juga dengan June Afternoon.

Seingatku, hanya dua contoh itu saja yang aku tahu. Ada yang mau memberiku contoh lainnya?

Yeah... Juni seakan memberi ide segar untuk berkarya ataupun sekadar menuang rasa. Demikian halnya denganku. Seperti mereka, setidaknya ada dua inspirasi baru yang akan aku jalankan.

Pertama, puisi berantai. Ah puisi... seperti Bapak Sapardi. Akankah bait-bait puisi itu menyusul ketenaran Hujan Bulan Juni? Hehehe... tidak apa kan? Bukankah bermimpi itu gratis? Oke...

Inspirasi kedua, untuk menjadi seorang blogger di instagaram. Yah... Aku tahu. Menulis disini saja aku jarang sekali, apalagi di platform lain? Terlebih, platform itu juga pernah mengguncang kestabilan emosimu.  

Bagaimana denganku? Entahlah. Aku tidak tahu, selain memutuskan untuk lebih berani berkomitmen bahkan untuk hal sekecil dan sesantai ini mengingat pola sikapku selama ini. 

Itu baru satu hal. Mari kita beranjak pada pertengahan Juni. Dimana perhatianku teralih lagi pada suatu fenomena di bulan ini.

Entah sejak kapan aku mengetahui hal ini. Tetapi, Bulan Juni kini identik pada suatu kaum asing yang tengah menuntut haknya untuk diakui. Suatu kaum, yang menunjukkan eksistensinya demi mendapat suatu apresiasi, juga kebebasannya, tak peduli seberapa menyimpangnya hal tersebut. 

Beberapa mendukungnya, sedang tak sedikit juga yang menentangnya. Bahkan hingga berinisiatif untuk langsung memboikot pembelian pada beberapa brand yang mendukung pergerakkan tersebut. 

Ah... Aku tidak ingin membahas salah dan dosa disini. Sebab, bukankah manusia adalah tempatnya salah dan dosa? Tetapi, yang tak masuk akal adalah bagaimana bisa mereka mewajarkan suatu kesalahan dan membiarkannya dengan premis tersebut, bukannya malah memilih sikap untuk memperbaikinya? 

Aku memang tidak menyetujui kehadirannya. Sebab menurut sudut pandangku, sia sia saja. Jika memang penyimpangan itu bukan suatu kesalahan, mengapa Kaum Luth dihancurkan Tuhan? Atau bila membicarakan tentang asal muasal terciptanya manusia, mengapa Tuhan menciptakan Adam dan Hawa untuk saling menemani dalam menjalani kehidupan? Mengapa tidak diciptakan saja Adam dengan Adam lainnya untuk saling melengkapi?

Bila tidak memercayai dogma pada suatu agama, bisakah memberikan penjelasan dari pola pikirku yang rumit? Mereka bilang, mereka menuntut hak asasi, terutama untuk mencintai. Hak asasi, setiap manusia memilikinya. Lalu, siapakah yang memberikan hak (asasi) itu? Tidak mungkin manusia lain, bukan? Sedang manusia saja menerimanya. Dimana ada hak, disitu juga ada kewajiban yang harus dijalankan. Bila sudah menemukan jawaban tentang siapa pemberi 'hak asasi' ini, maka kepadanya juga bukan kewajiban kita jalankan? Layaknya hukum timbal balik. Lantas, sudahkah menjalankan kewajiban padanya?

Ah... Aku lupa. Mereka adalah orang-orang yang dominan lupa. Tentang kemana hidup ini bermula juga berakhir. 

Ah Juni...

Aku lebih memilih untuk mengenangmu sebagai inspirasi dalam suatu karya, dari berjalan dan menonton euforia 'kebanggaan' pada suatu hal yang tak kuketahui sebab musababnya.


Komentar

  1. Aku mencoba mencerna waktu membaca beberapa paragraf terakhir.
    I see, you talked about the pride month.
    Dari apa yang kamu yakini benar, aku rasa kebenaran ini belum tentu akan dianggap benar oleh orang lain. Manusia itu abu-abu, tidak ada yang sepenuhnya putih dan hitam. Kamu bilang kalau manusia itu tempat salah dan dosa karena pada dasarnya nilai yang kita percayai ini memiliki kebenaran yang relatif. Untukmu dan mayoritas yang lain itu dosa, bagi mereka inilah jalan hidup yang harus aku perjuangkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, memang benar.

      Kebenaran yang aku yakini benar, belum tentu juga benar menurut kamu. Sebab, setiap kita punya penalarannya masing-masing. Lagipula, kita juga tidak bisa memutuskan hal itu benar ataupun salah hanya dari satu sisi. Kita perlu untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang suatu hal sebelum mengambil sikap dari suatu hal. Terima kasih untuk membawa perspektif baru tentang seseorang yang merasa terjebak dengan hal ini. Tetapi, kembali lagi pertanyaan di atas aku kembalikan. Sebab aku pun juga percaya, pasti ada suatu alasan yang mendasari mereka untuk seperti itu bukan? Kalau pun tanpa suatu alasan, sudahkah mereka memikirkan dampak yang kemungkinan terjadi (bukan untuk mereka sendiri, tapi untuk orang yang mereka cintai mungkin)?

      Well, kalau menurut pendapatmu aku membenci mereka sebenarnya tidak juga sih. Aku hanya tidak setuju pada apa yang mereka lakukan. Tetapi, ini hanya pendapat. Bukan suatu tolok ukur kebenaran yang pasti. Sebab bukan dari sudut pandangku kebenaran yang pasti itu, tetapi sang pemilik kehidupan. Sekali lagi terima kasih untuk mau bertukar pikiran.

      Hapus

Posting Komentar