Langsung ke konten utama

Tentang Oktober



Sebelum hitungan ini berakhir, sebelum aku tak lagi memiliki waktu untuk menyendiri, sebelum aku tak sempat lagi untuk menepi, bolehkah aku menyapa?

Ah... Sejatinya aku tahu. Tak ada yang melarangku. Juga tiada yang peduli. Aku tahu. Sebab inilah bilik hampa tempatku bersuara, bukan dalam hening.

Ah... Hitungan kesepuluh. Jariku telah genap menghitungnya. Tanpa terasa berlalu begitu saja. Bagaimana denganku? Hahaha... Jangan bertanya. Lebih baik simpan saja sendiri. Sebab kamu akan mengetahuinya, walau dalam persepsi berbeda.

Ah... Naluri liarku berulah kembali. Bagaimana bisa aku menikmati pelarian singkatku dari kewajiban yang mengurung?

Ralat...

Pelarian singkat itu hanya secuil perjalanan. Nyatanya aku melarikan diri secara terang-terangan. Padahal sudah jelas bukan, ada sesuatu yang harus aku pertanggungjawabkan?

Bohong bila aku tak menikmatinya. Ya... Dia menghapus dahaga yang sedikit kemudian tak seharusnya terjadi. Apa yang kulakukan adalah salah. Bahkan dalam persepsiku sendiri. Tetapi, aku menikmatinya.

Walau kemudian aku menangis karenanya. Walau kemudian aku menyesali sikap bodohku. Walau aku meminta waktu untuk berbaik hati memutar kembali, yang hanya dianggap konyol dan tak berarti kemudian.

Ah... mungkin belum sepenuhnya aku menyesali sikap bebalku ini. Jangan tanya aku darimana ia datang? Dari dulu pun juga demikian. Hanya saja aku tidak tahu mengapa ia menguat saat ini. Apa ada sesuatu yang tengah ia protes?

Tiap kali berjanji, tiap kali juga mengingkari. Lalu bagaimana dengan nanti?

Ada ujaran yang aku sangkal. Dia hanyalah seorang asing yang penasaran. Tanpa berniat untuk membantu lebih jauh. Mungkin saja. Sebab ia hanya berkomentar dan tak habis pikir saja. Ah... Aku mewajari praduganya. Tetapi dalam diam menyangkal ujarannya. Hanya saja, semakin kesini, aku berpikir, dia... Mungkin juga benar. Sebab kulihat diriku yang kini bertingkah.

Bagaimana dengan mimpi? Bagaimana dengan cita? Bagaimana dengan rencana?

Ada gambaran cukup jelas tentang masa depan sisa perjalanan singkat kemarin. Karenanya, aku kembali menggenggam mimpi. Karenanya, seakan tak ada lagi alasanku goyah dalam menentukan pijakan. Tetapi langkah itu masih tersendat. Sebab aku yang masih berulah. Tak bisa aku melangkah, bila ini masih menjadi bahan pikiran. Bagaimana bisa bertumpu kuat, bila tumpuan saat ini saja aku melemah? Mau sampai kapan?

Entahlah...

Sepertinya diriku yang merasa paling, tahu jawabannya


Komentar