Photo by Jeswin Thomas from Pexels |
Sekali lagi aku hanyalah manusia yang mengikuti naluri
sesaat. Ada sebuah bisikan yang mencegahku melepasnya begitu saja. Tentang
janji, tentang komitmen yang mulai untuk ditepati.
Tentang Januari…
Sebenarnya aku tidak begitu peduli. Bukankah ia hanya satuan
waktu yang pada akhirnya akan terlewati selama sisa hidupku?
Ah… tidak
Perasaan melankolis ini sebenarnya tak perlu untuk diluapkan. Hanya tinggal beberapa menit sebelum ia akhirnya pergi.
Ah… tidak
Perasaan melankolis ini sebenarnya tak perlu untuk diluapkan. Hanya tinggal beberapa menit sebelum ia akhirnya pergi.
Bila mungkin dulu aku tak peduli pada hari yang telah
berlalu, entah mengapa sekarang batasan itu semakin terlihat. Waktuku tak terus
beriringan dengan waktu dunia bukan? Aku mempunyai batas. Yah, pada akhirnya
aku harus menyadari, akulah yang akan tertinggal dari putaran waktu. Menjadi
sesuatu yang mungkin akan tetap berada pada masa lalu. Suatu saat nanti.
Lalu, pada sebuah batasan kini ada sesuatu yang baru saja
kupahami. Tentang sesuatu yang aku pertanggungjawabkan ketika aku kembali. Aku
tidak pernah tahu kapan waktuku berakhir, tidak akan pernah. Tidak masalah bila
Ia memberiku waktu lebih lama. Tetapi bagaimana bila waktuku tak lama lagi?
Masihkah aku bisa tetap berada pada lingkup nyaman yang kucipta sendiri?
Ah… Januari,
Sebuah awalan dari tahun masehi. Mungkin juga awalan dari
bagaimana aku harus belajar menerima hal yang tak membuatku nyaman. Juga
belajar untuk menantang diri sendiri.
Mengingat bulan ini, aku masih sebagai manusia yang terpekur
dengan selembar kertas kosong juga sebatang pensil. Menatap langit malam, tepat
dimana ia akan berganti hari. Masih berkutat dengan janji. Setidaknya menepati
janji adalah cara untuk menjalani komitmen bukan?
Bukannya mengekang, hanya saja aku tengah memerlukannya.
Menciptakan batasan pada diri sendiri itu tidaklah mudah. Sebab, dengan
mudahnya pula kau akan menolelir bila tak sejalan dengan rencana. Satu hal yang
masih kurang, aku masih mencari pembenaran atas cela yang kugariskan. Tetapi,
setidaknya aku memegang salah satu target walau aku harus berjudi dengan
kewajiban lainnya bukan? Bukankah setidaknya aku berusaha untuk memenuhi
komitmenku?
Lihat saja...belum selesai tulisan ini aku catat, pengelakkan itu sudah hadir kembali. Bukankah manusia adalah makhluk paling labil? Atau mungkin...
Hanya aku?
Bangkit bangkit. Terus bangkit
BalasHapus