Langsung ke konten utama

Menjadi Berarti


Bulanan gak nulis, rindu pula aku pada sarang pikiran ini.

Masih soal pertanyaan yang dibiarkan mengambang. Aku tidak tahu apakah ini merupakan sebuah jawaban atau inilah penegasan dari segala yang mengambang itu.

Dulu, aku berpikir….
Menjadi berarti, ialah ketika kamu dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitarmu.

Ah, Sebut saja ini suatu pengabdian untuk menjaganya agar tetap lestari. Salah satu bentuknya sesederhana menjaga kebersihan lingkungan, atau ikut reboisasi, atau menjadi seseorang yang konsisten menyerukan isu lingkungan pada banyak orang.

Menjadi berarti ialah ketika membagikan ilmu pada mereka yang tidak tahu. 
Masih tentang mengabdi. Bisa dengan mengikuti komunitas mengajar ke daerah pelosok sehingga pendidikan tersebar merata. Bisa juga dengan memberi pelatihan keterampilan kepada kaum yang rentan termarjinalkan dan memberi kesempatan mereka juga untuk berkembang. Atau... menginspirasi orang dengan kisah suksesmu seperti para motivator atau talkshow yang digelar di tempatmu menimba ilmu. Bukankah itu hebat?

Menjadi berarti ialah ketika kamu dapat menolong sesama.
Hmm, bahasan tentang sesama ini begitu luas, bahkan bisa saja sesama makhluk hidup. Baiklah. Lagi-lagi, aku melihatnya sebagai bentuk pengabdian. Ikut menjadi relawan kemanusiaan di daerah yang rawan, mengobati luka fisik maupun luka batin (aih.... sedap betul mengobati luka batin), atau menjadi suara kebenaran bagi yang dibungkam secara paksa. 

Berat? Tidak juga.
Bukankah bisa dilakukan dengan langkah yang sederhana? 

Itu sih menurut kebanyakan orang. Mungkin termasuk kamu.
Coba tanyakan pertanyaan itu padaku? Apa itu berat? Pastinya. 

Tapi... apa yang didapatkan setimpal, kan? Ya, setidaknya berhasil punya sesuatu yang dibanggakan untuk dibagikan ke orang. Biar gak malu-malu amat menjalani hidup karena merasa tidak ngapa-ngapain. Jadi, kalau seandainya ditanya, sudah punya jawaban.  

Meskipun terlihat sederhana, ternyata untuk mengambil langkah ini tidak semudah itu. Mungkin juga pola pikirku yang terlanjur rumit yang merumitkannya. Padahal kata orang mah, "Lakuin aja, jangan terlalu dipikirin."

Wohooo… tidak semudah itu, Ferguso. (Ferguso ini siapa ya? Sering banget disebut-sebut belakangan). 

Kalau mengikuti apa yang disebutkan sebelumnya sebagai tolok ukur untuk menjadi berarti, mungkin aku senang sudah lulus melakukan salah satunya. Bukankah secara gak langsung aku memiliki arti bagi sudut pandang orang lain? 
 
Tapi kemudian... bila yang jadi motivasi untuk bergerak ini hanya untuk mengejar pengakuan, untuk apa? Bukankah sama saja aku memenuhi ekspektasi orang lain padaku? Apa aku tidak keberatan menjalankannya? Apa aku nyaman menjalaninya tanpa tekanan? 

Kalau baru memulainya saja sudah membuatku merasa keberatan, bagaimana bisa aku menyukai proses untuk menjadi berarti itu? 

Inilah yang kemudian menghantarkanku pada arti dari pencarian panjang itu. Menjadi berarti, menurutku sendiri.

Kalau yang jadi patokan adalah keringanan hatiku melakukannya dimulai dari sesuatu yang kusuka, maka....

Aku senang bertemu orang lain. Menghabiskan waktu dengan pembicaraan panjang seperti tanpa akhir mengenai kehidupan, pengalaman, juga gagasan. Aku suka berinteraksi dengan orang lain. Walaupun terkadang juga menyukai kesendirian.

Aku suka dunia tulis-menulis sepaket dengan membaca. Dengan menulis, aku merasa mengukir jalanku sendiri. Hmm, semacam reminder tentang apa saja yang sudah dilewati kalau aku lupa. Sedangkan membaca, mengenalkanku pada hal baru. Bisa juga mengembangkan dunia virtual yang terbungkus rapi hanya dalam kepalaku saja. Sebab, rasanya dunia ini terlalu kecil, untuk batasan-batasan yang belum bisa kukendalikan dengan baik. 

Aku senang untuk belajar, juga menjelajah hal baru. Keduanya membuatku sadar, ada sisi lain dunia yang perlu untuk aku kenali.

Dan sekali lagi, aku suka melakukannya tanpa merasa ada tuntutan yang menekan.

Kemudian aku menyadari, untuk menjadi berarti tak melulu soal mereka. Tak melulu dengan melakukan pengabdian. Tak melulu menjadikan kebahagiaan orang sebagai target pribadi untuk dikejar.

Kalau ini terdengar egois, rasanya tak masalah sekali-kali begini. Sebab, bukankah setiap orang punya ego? Lagipula mereka punya jalan dan caranya sendiri, pun aku. 

Maka jadilah berarti untuk dirimu sendiri. Jadilah berarti untuk mengisi dirimu sendiri. Jadilah berarti untuk memberi arti bagi dirimu sendiri. Nanti, bukankah kebahagaiaan akan mengikuti tanpa perlu dikejar ke sana kemari?  Sebab, bukankah dirimu sendiri begitu berarti?



Komentar