Langsung ke konten utama

Kalau Semua Jadi Kaya, yang Miskin Siapa?


Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama ditanyakan oleh salah seorang teman. Ketika itu, kami yang masih putih (baca: polos) terhadap dunia perkuliahan dan masa depan, bertingkah bak intelek untuk berpikir positif terhadap salah satu mata kuliah. Bukan karena kami menyukai mata kuliah itu teramat sangat. Bukan sama sekali. Tetapi karena merasa sebal dengan tugas yang diberikan.

Perdebatan mengenai ide tugaspun memakan waktu yang lama. Bahkan, kami cenderung merasa bahwa ide itu masih sangat mentah dan tidak layak untuk dipresentasikan sebagai tugas. Di tengah-tengah diskusi, ada salah seorang yang berkata kurang lebih seperti ini, ‘Toh juga gak semua mahasiswanya jadi pengusaha.

Saat itu, aku hanya bisa menimpali sedikit dari ucapannya itu. ‘Emang gak sih. Tapi kan siapa tahu ke depannya bakalan perlu dengan ilmu ini.'

Kalau semua orang berpikiran sama kayak kamu, Meg, semua bakalan mau jadi pengusaha. Terus kalau semua jadi pengusaha dan jadi orang kaya, yang jadi pembeli siapa? Mana ada orang yang jadi miskin? yang ngisi posisi orang miskin ini siapa dong?'

Dan mendengar penuturannya, aku jadi diam. Salah satu hal utamanya, mungkin karena aku gak tahu mau ngomong apa. Faktor pendukung lainnya adalah, aku terlalu malas untuk membuang-buang tenaga buat berpikir tentang jawabannya, mbulet di otakku. Maklum aja, cuaca saat itu panas banget dan kami baru saja pulang dari kegiatan perkuliahan.


***


Udah lama banget emang sejak kejadian hari itu. Kalau dijawab sepintas, ini termasuk pertanyaan yang konyol. Sebab, siapa juga yang mau hidup dalam garis kemiskinan? Kalau toh bisa memilih, mending pilih terlahir kaya deh. Atau minim berkecukupan.

Tapi gak tahu kenapa pertanyaan itu muter terus dalam pikiranku. Udah kayak kaset yang diputar berulang kali sampai akhirnya rusak. Bedanya, sepertinya ini belum ketemu kata 'rusaknya' deh. Otakku masih aja ngeyel untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu. Tapi karena apa yang ada di pikiran gak hanya pertanyaan itu doang, jadilah aku masih belum ketemu jawabannya.

Sampai ketika dalam perjalanan pulang, hal itu kembali terbayang, dan semua menjadi lebih masuk akal sekarang. Setidaknya buat aku sendiri. Atau akalku aja yang mereka-reka jawaban biar terlihat masuk secara logika? Hmm... mari kita uraikan.


Aku tahu, Tuhan menciptakan makhlukNya berbeda-beda di dunia ini. Bahkan untuk sepasang kembar identik sekalipun, pasti ada aja perbedaannya. Yup, kita, manusia ini diciptakan berbeda-beda. Punya ciri fisik yang beda, latar belakang beda, kemampuan berbeda, pemikiran berbeda, juga takdir hidup yang berbeda. Semua sudah diciptakan dan diatur sedemikian rupa.

Karena ‘berbeda’, gak semua orang akan menjadi serupa walaupun menempuh jalan yang sama. Contoh seringnya aja, perhatiin deh teman sekelas kalian yang dulu pernah berjuang bersama. Apa semuanya menempuh jalur pendidikan yang sama dengan yang kalian tempuh sekarang? Atau coba perhatikan orang sekitar yang dulu belajarnya apa ketika berada di bangku kuliah tapi sekarang bekerja sebagai apa?

Ini sama aja kalau dalam kasusku, walaupun kita sama-sama belajar ilmu komunikasi, belum tentu juga semuanya akan memilih public speaking sebagai karirnya. Meskipun sama-sama belajar tentang kewirausahaan, belum tentu juga semua akan menjadi pengusaha kemudian. Belum tentu. Semua itu mah tergantung sama minat, kemampuan dan tekad masing-masing orang.

Perkara orang kaya ataupun miskin,
Bagaimana kalau aku bilang sebenarnya miskin itu gak ada?
Bagaimana kalau aku bilang kata ‘miskin’ itu hanya perspektif yang dibuat oleh manusia aja?


Kenapa?

Aku pernah mendengar walaupun sepintas dalam sebuah ceramah tentang apa yang diciptakan Allah berdasarkan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Segala sesuatu di bumi ini diciptakanNya berpasang-pasangan. Selain itu juga semuanya telah dijamin sendiri oleh Allah. Ada siang, ada malam. Ada lelaki, ada juga perempuan. Ada yang kaya, dan ada juga yang berkecukupan.
Dalam ayat tersebut, tidak menyebutkan ada yang miskin, kan? Tetapi yang dituliskan adalah berkecukupan.

Berkecukupan sendiri menurut aku luas juga maknanya. Entah dengan cukup makan sekali dalam sehari. Cukup untuk mendapatkan tempat berteduh dari sinar matahari yang terik ataupun hujan deras. Atau cukup untuk bisa memakai baju walau mungkin aja itu baju yang banyak tambalannya sana sini. Tapi kalau kita mensyukuri itu, Insya Allah udah cukup kok. Masih untung juga karena kita bernafas aja gak bayar. Gak kebayang kalau untuk hal seperti bernafas, memompa darah ke seluruh tubuh, atau menyaring racun aja kita bayar. Bangkrut gak tuh? 

Yang bikin kita merasa gak cukup, karena terkadang kita terlalu memperhatikan pendapat orang. Secara umum, manusia tanpa disadari telah menetapkan standar-standar tertentu dalam kehidupan yang juga di-iyakan secara tidak langsung oleh penerusnya. Sehingga, lama-kelamaan akan terbentuk satu hal dalam tatanan masyarakat. Termasuk tentang pandangan mengenai miskin itu sendiri.

Tapi bukan berarti meskipun sebenarnya miskin itu gak ada, lantas jadi alasan untuk memalaskan diri di balik kata ‘cukup’. Yang aku maksud malas ini, gak melakukan apapun untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tetap aja, hakikat dari kehidupan kita sebenarnya adalah beribadah dan berusaha untuk lebih baik lagi. Hmm.. yah, sepertinya begitu menurutku.

Semisal nanti sudah berusaha maksimal, tapi hasil yang didapatkan masih belum cukup, ya jangan seketika langsung berpikiran negatif. Calm down. Tenang. Tarik nafas. Hembuskan. Tapi mohon jangan dihembuskan lewat bawah. Apalagi kalau ternyata meracuni orang di sekitar 😁

Rejeki udah diatur Allah kok. Allah sendiri bahkan yang menjanjikan kita hidup di dunia ini kalau gak kaya, ya berkecukupan. Sekarang, tergantung bagaimana kita memandang aja sih. Kalau kita merasa kurang, ya… bakalan kurang terus. Tapi kalau kita merasa bersyukur, Insya allah kita gak bakal merasa hidup serba kekurangan bahkan miskin.


Jadi secara garis besar, kesimpulannya adalah, Kalau emang udah rejeki gak kemana kok. Gak bakal hilang juga direbut teman. Semua udah punya porsinya masing-masing. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan? Hehehe… 

 

Komentar