Langsung ke konten utama

Sebuah Kisah dan Keresahan Seseorang


Ramadhan, 16

Seorang gadis berada dalam kerumunan orang yang tengah menyuarakan haknya. Langkahnya bergerak mondar-mandir untuk mencari targetnya, orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sesekali mengajak rekan sesamanya untuk segera menolong korban. Tak peduli pada suara peluru yang beberapa kali ditembakkan juga lemparan gas air mata yang memedihkan netra sekaligus menghalangi pandang.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada seseorang yang terkapar tak berdaya dengan luka menganga. Teriakkannya sudah sangat parau, sebab tenaganya telah terkuras melawan kaum bebal yang kerap merampas hak mereka. Luka akibat tembakan peluru menganga, merembeskan darah pada kulitnya yang robek di kakinya. Sedang untuk berjalan saja rasanya ia tak mampu. Di sekitarnya, peluru masih terus ditembakkan, memburu membabi buta. Juga sisa emisi gas air mata yang setia menghujani berbaur debu. Balasannya? hanya sebuah lemparan batu. Menambah lengkap suasana mencekam yang menggetarkan kaki melangkah mendekat.

Tetapi tidak padanya. Ia melihatnya. Melihat orang yang tengah menanti bantuannya di sana. Hanya mengandalkan insting, ia pun melangkah, menyelamatkannya. Tetapi langkahnya terhenti. Seseorang mencegah langkahnya untuk mendekat, sebab bahaya yang masih mengintai. Tidak, peringatan itu tak lebih dari sebuah peringatan, ada yang lebih mendesak. Selama masih ada Allah, ia tak akan mundur. Begitulah tekadnya. Allah bersamanya, yakinnya.

Mungkin saja seseorang yang dibantunya tertolong. Memberikan harapan untuk kesempatan yang akan dihadapinya setelah lukanya sembuh. Tetapi tidak dengannya. Sebuah peluru menembus dadanya. Darah itu mengucur deras, memerahkan seragam putihnya. Dan disaat itulah… kehidupannya bertukar. Ia meregang nyawa ditengah tugasnya.

***
 
Kisah di atas hanyalah ilustrasi karangan sendiri dari kisah sebenarnya tentang seseorang yang berjuang di jalanNya. Jihad, kami menyebutnya demikian untuk nama perjuangan itu.

Ada banyak kisah serupa lainnya tentang mereka yang berjuang meski harus membayarnya dengan nyawa. Terakhir dari yang kubaca, ada seorang anak yang berani melawan pasukan bersenapan tajam hanya dengan menggunakan ketapel. Ya, sudah bisa dilihat dari segi kekuatan memang tak akan pernah imbang. Anak itulah yang pada akhirnya pulang. Meninggalkan nama, meninggalkan cerita, juga meninggalkan harapan, semangat untuk tetap berjuang meraih kemerdekaan. Belum lagi dengan kisah seorang penyandang cacat yang juga rela mati demi tanah airnya.   

Dengan sekian cerita tersebut, rasanya cukup untuk saat ini menceritakan lebih banyak perjuangan mereka di sana, di daerah yang diperebutkan. Terlalu miris. Tak terhitung banyaknya cerita berjihad yang melelehkan airmata. Sebab bagaimanapun caranya, ujungnya pun akan sama. Menyandang gelar Almarhum/Almarhumah di depan namanya. 

Sebentar, kesampingkan dulu tentang kisah jihad yang berkorban nyawa. Di belahan dunia lain, ada sebuah kisah inspiratif yang sempat viral di dunia maya. Bukan tentang pencapaiannya dan hasilnya yang menyilaukan mata, tetapi gairah hidupnya untuk membantu sesama. Dengan kekayaan yang dititpkan padanya, dia mendulang pundi-pundi pahala lewat jalur memberikan pada orang yang lebih membutuhkan. Ini berlangsung hingga ia menjemput ajalnya beberapa hari yang lalu di penghujung Mei. 

Masya Allah... seketika aku teringat dengan kisah bunda Khadijah, istri Rasulullah yang rela menyumbangkan seluruh hartanya demi mendukung dakwah suaminya. Bahkan bila tak ada satupun yang bisa dikorbankan, tulang belulangnya pun beliau relakan demi kepentingan umat.  

Hmm…
Lalu apa ?

Tentang perjuangan di jalanNya, Tentang sesuatu yang dinamakan Jihad.

Ini bahkan tertulis dalam Al-Qur’an dan setiap ummat wajib untuk melakukannya. Tetapi kemudian, apakah jihad harus selalu mati?

Sejauh ini aku masih belajar memahami apa yang sebenarnya diperintahkan dalam keyakinan yang kuanut. Meski masih terbata-bata dalam membaca Quran. 

Dulu sekali, pertanyaan ini pernah terlintas di pikiran tiap kali kata 'jihad' bergaung. Identik dengan kematian. Rasanya harus berperang dulu untuk kebaikan dan meninggal di dalamnya barulah disebut berjihad.

Tetapi, semakin bertambahnya umur dan kemampuan untuk menelaah lebih jauh, aku belajar bahwa jihad tidak harus selalu mati. Sebab yang sesungguhnya dilihat adalah perjuangan di jalanNya. Perjuangan untuk menegakkan kebenaranNya, sekalipun harus menyerahkan nyawa. 

Jadi, kurang lebih singkatnya seperti ini, kalau dalam perjuangan itu kita berjumpa ajal, maka Insya Allah matinya kita itulah yang dinamakan mati syahid (mati karena berjuang di jalan Allah). 

Semakin aku memahami, ternyata kebaikan kecil yang kita lakukan bisa saja tergolong berjihad. Ada yang dengan menyumbangkan hartanya untuk membantu orang lain yang memerlukan, atau pembangunan tempat ibadah. Ada yang melakukannya dengan menuntut ilmu agar dapat memberi manfaat bagi lingkungan di sekitarnya. Ada yang berjuang dengan mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ada yang berjuang dalam misi kemanusiaan. Bahkan yang paling ekstrim, rela mati demi menegakkan agama Allah (seperti yang dilakukan Rasul dan para sahabatnya) atau demi tanah airnya layaknya para pahlawan dulu, yang saat ini contoh nyatanya bisa kita lihat dari perjuangan rakyat Palestina. 

Yupp... ternyata banyak juga. Seperti banyak jalan menuju Roma. 

Yang terpenting niatnya lurus dan tulus, untuk meraih ridha Allah. Selama masih diberi hidup, selama itulah kita memiliki waktu untuk berjihad. Meski tiada jaminan apakah akan selamat atau menambah gelar di depan nama. Tetapi, bukankah setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati? Lagipula, apa ada jaminan lima menit ke depan nanti hidup akan baik-baik saja? 

Hmm... yang jadi inti pemikirannya sekarang, ada seorang makhluk yang tengah merasa rendah diri dan tak tahu apa yang dilakukannya. Setelah membaca kisah-kisah orang berjihad dengan segala inspirasinya membuatnya kembali bertanya, 

Adakah ia melakukan perjuangan yang sungguh-sungguh dilandasi niat untuk beribadah padaNya? Atau adakah selama ini dia melakukannya karena sekadar menjalani kehidupan?


Catatan Ramadhan ke-25


Komentar