Langsung ke konten utama

Teruntuk Tuan yang Mendamba Kepulangan Seseorang


Assalamualaikum. Hai, apa kabar?


Ah, sebaris kalimat di atas hanyalah sekadar sapaan basa-basi biasa saja. Tapi pernahkah terbayangkan olehmu jika kalimat itu akan sering kamu dengar saat ada seseorang yang menanti hadirmu untuk pulang?

Aku sudah membaca ribuan kali tulisan yang menyiratkan bait kerinduan di linimasaku. Mungkin saja salah satunya adalah tulisanmu. Ah... seandainya sajak yang kau tuliskan itu bernama. Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi.

Pertama, bila tulisan itu memang ditujukan padaku, mungkin aku sudah memerah karena tersipu. Ada desir halus yang berdebar ketika membaca bait demi bait tulisanmu. Sebab, aku tipikel yang percaya, ungkapan yang tak mampu diucapkan, mungkin akan tersembunyi dalam sebuah tulisan. Ada kejujuran dan ketulusan yang mengalir di dalamnya walaupun tanpa sengaja. Yah... tidak sepenuhnya bisa dipercaya, sebab ini hanya kadang-kadang saja. 

Sebuah rasa yang tertulis di dalamnya seolah nyata. Mungkin inilah ketika sebuah tulisan mempertemukan dua hati yang jauh berada. Dan... nyatanya, sepertinya belum pernah kujumpai tulisan yang ditujukan padaku sampai tulisan ini selesai ditulis. Mungkin karena kamu yang selama ini pintar bersembunyi.

Kedua, bila bukan untukku, tidak apa. Aku memahaminya. Tetapi aku tetap perlu berterima kasih. Setidaknya, tulisanmulah yang menemaniku. Walau harus bercumbu bayang beberapa kali. Pada intinya aku hanya ingin mengatakan bahwa bait-bait yang dituliskan itu, mampu membuatku sesaat larut di dalamnya. Dalam kedalaman rasamu.

Kau tahu, perempuan adalah makhluk yang lebih mengandalkan perasaan. Mungkin ini juga yang menjadi alasanmu menulis. Untuk melemparkan kode tersembunyi dari hati ketika lidah saja kelu untuk mengatakannya langsung pada seseorang yang dituju. Berharap ia peka terhadap perasaanmu.


Tuan,
Kau tahu, tulisanmu tidak hanya dibaca oleh perempuan yang kau tuju, tetapi juga mereka yang tak mengenalimu sama sekali. Mereka mungkin saja tak pernah tahu siapa dirimu, karena belum pernah bersinggungan dalam catatan takdir. Tetapi merekalah yang larut dalam sajak yang kau tuliskan. Hitunglah aku juga yang membaca tulisanmu.

Tetapi kemudian, suatu hal menyentak kesadaranku untuk bangkit dari ilusi akibat sajakmu. Bahwa semua, hanyalah fatamorgana dalam gurun berpasir. Seolah melegakan, tapi dahaga itu masih tersisa. Bila kuteruskan, apakah aku terselamatkan? 

Sangat mungkin bila tulisan itu bukan tertuju padaku. Sebab sekali lagi, sajakmu tanpa nama. Entah untuk siapa dia dikarang. Untuk perempuan lain kah, atau memang untukku? Ah... pilihan yang terakhir terlalu bermimpi rasanya.

Ya... Anggaplah bukan untukku, dan semua yang membacanya berpikir serupa denganku. Termasuk juga perempuan yang diisyaratkan hatimu. Mungkin karenanya, kodemu tak pernah ditanggapi. Seserius apapun kamu mengungkapkannya. Alasan sederhananya, takut terbawa perasaan. Ini hanyalah perspektifku, sebagai salah satu orang yang membaca tulisanmu.


Tuan,
Mengenai pesan rindu yang kau sampaikan, itu manusiawi sekali. Terkadang, melalui sebuah tulisan aku pun menyiratkan rindu. Rindu untuk seseorang yang pernah atau mungkin akan membuatku terlarut dalam rasa tentangnya.

Tetapi pesan itu tak akan pernah sampai. Sebab aku menyimpannya terlalu rapat. Hanya untukku sendiri. Kau mungkin berpikir aku terlalu pemalu untuk mengungkapkan perasaanku. 

Mungkin, memang benar. Aku memang terlalu malu untuk mengungkapkannya. Namun aku rasa inilah yang terbaik. Sebab aku belum sepenuhnya yakin apakah ia orang yang tepat untuk menerima rinduku. Meskipun untuk sementara ini hatiku meneriakkan jawaban 'iya'.  Bisa jadi rasa itu tak selamanya bertahan. Dan rinduku terlalu berharga untuk sesuatu yang sementara. 

Ia memang ada, tetapi kehadirannya bukan untuk selamanya. Bisa saja ia akan berubah bentuk dalam hitungan waktu. Setidaknya itulah yang aku baca dalam sebuah buku. Tetapi akalku menerimanya tanpa syarat apapun. Tak ada penyangkalan tentang itu. Sebab bukankah, seringnya hati bergerak diluar kendali kita?

Terlebih lagi kisah itu masih abu-abu. Belum terlihat titik terangnya. Belum tentu pada akhirnya aku berujung dengannya. Seseorang yang aku harapkan peka terhadap pesan rinduku saat ini. 

Itulah mengapa aku menyimpannya sendiri. Setidaknya tulisan itu yang mengingatkanku tentang seseorang yang pernah membuat hariku lebih berwarna. Mungkin saja saat membacanya, aku sudah tak merasakannya lagi.


Tuan,
Merindu itu manusiawi. Tetapi selain merindunya begitu dalam, pernahkah kau menuliskan bait kerinduanmu untuk orang-orang terkasih yang ada di sekitarmu? Seperti ketika kamu melukiskan rasamu untuknya? Atau, pernahkah kamu melukiskan bait rindumu karena merindukanNya? Merindu untuk berjumpa pada sepertiga malam misalnya?

Aku paham, bukan berarti kamu tak menyayangi mereka yang dekat denganmu saat ini. Hanya saja taraf rindunya yang berbeda. Untuknya, rindumu seolah menggebu, sebab perasaan yang masih tertahan menanti penyaluran untuk mencurahkannya. Tentunya untuk dia yang kamu harapkan. 

Tetapi, semakin kamu membiarkan dirimu larut di dalamnya, semakin kuat ia menjerat dalam sakitnya pengharapan. Mungkin ada baiknya bila baitmu tertuju saja padaNya, yang menciptakan rasa itu ada.

Bukan aku bermaksud mengguruimu, apalagi merasa bahwa apa yang aku sarankan ini paling benar. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Bisa saja berguna untuk menjaga hatimu kelak dari malu ketika rasa itu bukan lagi untuknya. Bisa saja menyelamatkanmu dari tuduhan pemberi harapan palsu, walau kau tak berniat melakukannya. 

Tetapi perspektif memang terkadang sekejam itu. Ia hanya melihat dari satu sudut pandang, dan sayangnya itu bukan sudut pandangmu. Mungkin saja dari sudut pandang perempuan yang terlena karena tulisanmu. Atau perempuan yang saat kau menuliskan baitnya tengah dekat denganmu. Lalu tanpa sadar, menaruh harap semakin dalam. Sedang kamu tak mampu membalas rasanya. 


Tuan,
Sebenarnya tak perlu khawatir tentang ini. Biar saja rindu itu menganga. Biar saja rindu itu tersimpan dalam catatan pribadimu. Biar saja ia tetap menjadi rahasia. Hingga ketika suatu saat nanti tiba masanya, dia yang akan mendampingimu mengarungi cerita kehidupanlah yang layak menerimanya. Sebab, bukankah pada akhirnya orang yang kau pilih untuk menemanimu itulah yang kau rasa tepat untukmu?


Komentar